Pacarku Pecinta Angst

Allen Nolleps
Chapter #17

Bab 16. Separuh Aku

Terbaring di sebuah ranjang, membuka mata untuk melihat kepada langit-langit ruangan yang familiar. Menatap selama beberapa detik, fokusnya teralihkan saat dia secara samar mendengar suara gaduh di luar. 

Suara itu semakin jelas saat dia memusatkan pikirannya untuk mendengarkan lebih jelas. Meski masih tak sepenuhnya jelas, dia bisa secara kasar mengetahui bahwa itu pasti suara keributan. Itu tampak tercampur antara pria dan wanita yang saling meneriaki satu sama lain. Juga terkadang ada beberapa suara seperti benda yang dilemparkan. Terdengar pecah, terbanting, menabrak tembok dan sebagainya.

Bangun dan duduk di ranjang, dia menatap sekitar, menemukan ruangan dengan perabotan yang dikenalnya, ini adalah kamarnya. Bangun dari tempat tidur, berjalan ke pintu, dia mendengar suara gaduh itu semakin jelas. 

Membuka sedikit pintu, dia mengintip keluar, menemukan pemandangan ruang keluarga yang sudah berantakan total. Televisi, lemari, meja, kursi sofa, dan semua perabotan lainnya, tampak berserakan dan porak-poranda. 

Ditengah pemandangan kehancuran itu, sepasang wanita dan pria dewasa tampak cekcok, saling menunjuk dan meneriaki satu sama lain, hingga akhirnya sang pria mengangkat tangannya untuk menampar wanita itu.

Suara tamparan keras bergema, membuatnya takut dan secara spontan menutup kembali pintu kamar.

"Bang, kenapa Ayah sama Mamah berantem terus."

Tubuhnya tersentak kaget saat dia mendengar suara di belakangnya. Berbalik, dia menemukan seorang anak laki-laki yang lebih muda darinya, duduk di pojok tembok ruangan, menekuk lututnya, menyembunyikan wajahnya di balik itu.

Awalnya dia bingung dengan kemunculan tiba-tiba anak itu, sebelum dia teringat bahwa anak laki-laki itu adalah adiknya. Tersenyum, dia berjalan mendekat dan berkata. "Nggak apa-apa, Abang kan ada disini, jadi nggak usah takut."

"Bener Bang? Abang nggak akan ninggalin Haikal kan?" tanya anak itu dengan takut-takut. 

Mendengarnya, dia membelai kepala adiknya dan berkata dengan hangat. "Abang janji kok, Abang nggak akan ninggalin Ade."

"Tapi... kenapa justru Abang malah ninggalin Haikal?" tanya anak itu, kini dengan suara yang tampak kosong. 

Sementara dia menjadi bingung dengan perubahan nada bicara adiknya, yang terakhir mengangkat kepalanya, menunjukkan wajah remaja di usia awal tujuh belas tahun.

Dia menatap wajah adiknya, yang matanya tampak kusam tak bernyawa. Detik berikutnya, dia melihat noda merah keluar dari lubang wajahnya, hidung, mulut, telinga, bahkan matanya. Adiknya membuka mulut. "Kenapa Abang tinggalin Haikal?!"

Suaranya melengking kuat, tampak tak sebagaimana harusnya suara manusia menjadi. Dengan panik dia mundur, melihat adiknya yang perlahan berubah. Luka mulai bermunculan, dengan darah yang keluar darinya. Mulutnya terbuka, meneriakkan kalimat yang sama berulang kali.

Tidak tahan dengan suara dan pemandangan didepannya, dia menggelengkan kepala dengan kuat, sambil menutup telinganya dengan kedua tangannya. Pandangan disekitarnya tampak berputar dan buram, seolah ada distorsi ruang di sekitarnya. Segera, pemandangan berganti menjadi sebuah kamar rumah sakit.

Meski lampunya menyala, cahaya disekitar ruangan tampak remang, memberinya kesan tak nyata. Dia menatap ada sekelompok orang berseragam putih dengan warna merah yang menodai seragam mereka. Kelompok orang ini tengah berdiri, mengelilingi ranjang dimana seseorang tampak terbaring di atasnya, bersimbah darah.

Detik berikutnya, dia melihat pintu ruangan dibuka dengan keras. Matanya membulat terkejut saat melihat orang yang baru masuk, itu adalah seorang pemuda yang sangat mirip dengannya! 

Pria itu berjalan tertatih ke ranjang, sementara orang berseragam disekitar tampak mundur memberi jalan. Pria itu memeluk pasien yang terbaring, tanpa peduli dirinya ternodai oleh noda darah. Pria itu berteriak dengan tangisan yang keras.

Seolah ada resonansi antara dia dan pria di depan. Dia merasa sesuatu yang menyakitkan di dalam hatinya. Dia mencengkram dadanya, sesuatu terasa begitu sesak dan menyengat. Nafasnya tersendat, air mata mulai berjatuhan sementara pandangan di depannya mulai pudar, seperti lukisan yang warnanya memucat. 

Hal terakhir yang dia lihat adalah saat pria yang sangat mirip dengannya itu, menoleh padanya, menatapnya dengan kebencian yang jelas. Pria itu membuka mulutnya dan berkata. "Bangun."

***

Membuka mata, gue tersentak bangun dengan panik. Nafasnya tersendat, gue membuka mulut, berusaha menarik oksigen sebanyak-banyaknya. Sayangnya, tindakan paniknya ini hanya membuatnya semakin sulit bernafas.

"Beb! hey tenang, kamu yang tenang sayang!" Amela berseru kaget saat dia menemukan pacarnya tiba-tiba bangun dengan agresif. Dia mengatupkan pipi pria itu dan mengarahkan kepalanya untuk menatapnya. "Beb, lihat aku, kamu yang tenang ya, nggak apa-apa, semuanya udah selesai sayang, disini kamu aman."

Sambil bicara untuk menenangkan, dia melihat ekspresi panik pacarnya. Mata pria itu menatap tak fokus, nafasnya tersendat, dan ada air mata yang menetes. Hatinya sakit melihat pemandangan itu, dia mengigit birbinya untuk menguatkan diri. "Lihat aku, aku disini sayang, semuanya udah selesai, jadi kamu yang tenang ya."

Dukungan Amela mulai menunjukkan hasilnya saat nafas gue mulai lebih tenang, mata gue jadi lebih fokus. Terengah-engah, gue memegang tangan lembut yang mengatupkan pipinya, melihat kepada wanita yang familiar, gue berkata dengan lemah. "M-Mel?"

Amela tersenyum dengan mata berlinang. "Iya, ini aku." Mengatakan demikian, Amela membawa pria itu kedalam pelukannya. 

Berada didalam dekapannya, membuat hati gue menjadi jauh lebih santai. Kehangatan, kelembutan dan aroma manisnya, secara efektif mengendurkan sarafnya yang tegang.

Gue melirik sekitar, menemukan dirinya berada di dalam ruangan kamar rumah sakit, terduduk di ranjang pasien.

Melepaskan pelukan, gue bertanya. "Mel, ini kita di rumah sakit?"

Amela sedikit mengusap sudut matanya sebelum mengangguk. "Iya, aku bawa kamu ke rumah sakit, sebelumnya aku coba nyusul kamu dan..."

Suara Amela mengecil, dia tidak ingin melanjutkan. Gue yang melihat itu, menghela napas berat, mengingat kembali perkelahiannya dengan geng Rama. 

Gue ingat, dirinya di cegat saat berjalan pulang, mereka berkelahi yang akhirnya kepala gue dipukul dengan tongkat baseball, dan selanjutnya... hmm apa ya? darah? digebukin?

Gue merasa kesulitan mengingat kejadian setelah dirinya dipukul di kepala. Saat mencoba untuk mengingat lebih jauh, rasa sakit menyelimuti kepalanya. Meringis dan memegang kepalanya, gue menemukan ada semacam perban disana.

"Beb! hey kamu nggak apa-apa?" Amela berkata dengan khawatir saat dia melihat raut wajah kesakitan pacarnya.

Menghentikan dirinya untuk berpikir lebih jauh. Perlahan rasa sakitnya memudar, gue tersenyum lemah. "Nggak apa-apa, sekarang udah mendingan kok."

Amela, meski tampak ragu, hanya mengangguk mengiyakan. "Oke, kalo gitu, aku kabarin Mamah kamu dulu-"

Amela berhenti bicara, menatap kepada tangan pria itu yang menahan pergelangan tangannya. Sebelumnya, dia ingin beranjak untuk menelpon, namun segera dihentikan. 

Menoleh, dia melihat pacarnya berbicara. "Nggak perlu, dia nggak perlu tahu."

"Nggak Beb, dia Mamah kamu, dia juga berhak-"

"Nggak Mel, dia nggak perlu tahu, itu cuma nambah masalah aja."

"Tapi-"

"Mel... please."

Amela tampak berkonflik, melihat ekspresi memohon pacarnya, membuatnya ragu. Dirinya menjadi lebih dekat dengan Ibu Denita sejak hari pemakaman. Wanita paruh baya itu sering kali menanyakan prihal keadaan putra sulungnya, dan tak jarang menitipkan makanan padanya, memintanya untuk mengirimkannya tanpa memberitahu jika itu berasal darinya.

Amela jelas tahu hubungan dingin mereka, dan dapat mengerti mengapa Ibu Denita lebih memilih menitipkan semua itu padanya. Dia juga telah berpesan padanya, untuk selalu mengabarinya kabar tentang Devin. 

Ingin menjadi 'calon menantu' yang baik, Amela tanpa keraguan segera menerimanya, dan mereka mulai sering ada komunikasi. Dia merasa bahwa perlu untuk mengabari keadaan Devin sekarang padanya, namun...

Gue menatap Amela dengan lemah, berharap dia tidak menghubungi ibunya. Pemikiran dijenguk olehnya bukanlah sesuatu yang menyenangkan hatinya. Dia ingin menjaga jarak dengan ibunya. Beberapa orang mungkin mengecam tindakan keras kepalanya ini, melihat dirinya sebagai anak yang durhaka dan tidak berbakti. 

Lihat selengkapnya