Berdiri di depan cermin, menatap kepada pantulan diri. Gue saat ini sedang mengenakan outfit yang sama dengan hari dimana dia pernah menghadiri pernikahan teman Amela. Hanya saja, acara yang kali ini akan dia hadiri adalah wisuda kelulusan Amela.
Gue meletakkan tangan di kepala. Sudah beberapa hari berlalu sejak malam dia terbaring di rumah sakit. Lukanya sudah sembuh, termasuk memar di beberapa titik tubuh. Hanya cidera di kepalanyalah yang paling membutuhkan waktu untuk pulih. Baru kemarin dia melepaskan perban di kepalanya.
Sebenarnya dia masih merasa sedikit sakit disana, namun karena itu masih bisa ditolerir dan hanya terjadi sesekali, gue memutuskan untuk pulang lebih cepat. Lagi pula, ada sebuah usaha yang dia tinggalkan di belakang. Meski Lintang mampu mengambil alih, tetap saja akan lebih baik jika gue pulih lebih cepat dan mengambil pekerjaannya kembali.
Gue terkekeh pahit, mengingat bagaimana reaksi Amela yang tak senang karena dia memutuskan untuk meninggalkan rumah sakit lebih cepat. Dirinya harus menahan rentetan omelan yang diletuskan oleh wanita itu.
Gue harus menahan keinginan untuk menutup telinga, membiarkan Amela memuntahkan kekesalannya. Tentu, gue tahu bahwa itu adalah bentuk kepeduliannya, sesuatu yang membuat gue merasa bersyukur karena memilikinya.
Berjalan keluar kamar, gue berhenti di kamar adiknya, Haikal. Membuka pintu, melihat sekitar ruangan dengan perasaan melankolis. Menatap selama satu menit, gue menghela napas, menutup kembali kamar sebelum berjalan keluar rumah dan masuk ke dalam mobil.
Berkendara selama beberapa menit, gue tiba di bangunan tiga lantai yang familiar. Memarkirkan mobil dan masuk ke dalam Outlet, menemukan Yuni yang tampak sedang melakukan live.
"Iya Kakak, yang ini bisa di order sekarang Kakak, gratis ongkir kok, yang ini bahkan beli dua dapat satu," kata Yuni saat dirinya sedang menjajakan produk Angst Clothing.
Melihat kedatangan seseorang, dia melirik dan tersenyum menyapa. "Pagi Bos Dev, hari ini sehat juga kan Bos?"
Gue tersenyum balik dan mengangguk ringan. "Begitulah, lebih baik dari kemarin," kata gue, sebelum naik ke lantai atas, meninggalkan Yuni yang kembali melakukan penjualan secara live.
Di lantai dua, gue menyapa Bagas yang sedang mengatur barang di gudang. Naik ke lantai tiga, gue menemukan Lintang yang tengah duduk di tempat kerjanya.
Lintang menoleh, melihat kepadanya yang baru masuk. Tatapannya berpindah, melirik dari atas ke bawah sebelum menghela nafas. "Hah, padahal lo nggak perlu dateng kesini dulu, seharusnya lo langsung aja ke kampus."
Gue terkekeh mendengarnya, ini adalah akhir bulan November, sudah waktunya untuk mengurusi pembayaran pengeluaran bisnis mereka. Membayar gaji, biaya sewa Ruko, tools premium, perhitungan pajak dan sebagainya.
Lintang bisa melakukannya, namun sejauh ini, itu adalah tanggung jawabnya, jadi gue sejenak mampir kesini untuk menuntaskan pekerjaannya.
Duduk di meja kerjanya yang biasa, menggeser mahluk berbulu yang tengah tertidur pulas di atas mejanya. Gue tersenyum, membelai sedikit kucing itu sebelum membuka laptop dan mulai bekerja.
Hal pertama yang menjadi perhatiannya adalah jumlah pendapatan yang dihasilkan, ada lebih dari lima miliar rupiah!
Bisnisnya meledak saat Angst Clothing dirilis, itu terjadi dua puluh hari yang lalu. Tingkat penjualannya dinamis dan tak tetap, namun kita bisa menarik angka rata-ratanya di kisaran tiga ribuan pcs setiap harinya. Dan keuntungan yang kami peroleh selama penjualan bulan ini sudah tembus lima miliar!
Gue menelan ludah, itu uang yang sangat banyak! Pengeluaran bisnisnya sangat kecil jika dibandingkan angka itu.
Satu-satunya yang membuat gue merasa sakit adalah fakta bahwa nilai pajak yang harus dibayarkannya juga akan sangat besar.
Gue bertanya-tanya, 'kungfu' seperti apa yang harus dilakukannya untuk mengakali dari membayar pajak yang besar. 'Membeli aset atas nama perusahaan? Membangun yayasan non-profit? atau melakukan cuci uang?' pikir gue sebelum dengan cepat menggelengkan kepala.
Sebagai warga negara teladan, lebih baik untuk tetap mengikuti regulasi. Lagi pula, pajak yang akan dibayarkannya, pasti dialokasikan untuk pembangunan negara, tidak mungkin untuk yang lain. Ya kan? benar kan? hal-hal penting harus dipertanyakan dua kali!
Menyingkirkan pikiran guyon itu, gue fokus ke laptop, melakukan pekerjaannya. Kali ini agak lama dari biasanya, mengingat sejumlah besar keuangan yang dimiliki, tapi dengan software pengelolaan perusahaan, semuanya jauh lebih cepat dari yang seharusnya.
Menyelesaikan pekerjaannya, gue pamit kepada Lintang, turun ke bawah, masuk ke mobil dan mulai berkendara ke kampus Amela, menghadiri acara wisudanya.
***
"Mah, Devin udah dateng belum?" Amela bertanya saat dia melirik sekitar, mencari sosok pria tertentu.
Sementara itu, Amaya menggeleng. "Mamah juga belum lihat sayang, udah sana, kamu duduk ke tempatmu, acaranya udah mau mulai."
Amela cemberut, dia ingin memamerkan penampilannya saat ini yang tengah mengenakan seragam toga.
'Demi Tuhan! kenapa dia susah banget sih dihubungi!' Amela mengutuk, dirinya telah mencoba menelpon Devin berkali-kali, namun tak ada satu pun yang diangkat. Dia merasa entah mengapa, bajingan kesayangannya itu telah mengembangkan kebiasaan untuk mengabaikan panggilannya.
Yuda, yang melihat wajah cemberut putrinya, terkekeh. "Ketiduran kali, mungkin aja dia lupa, haha-aww!"
Amela mencubit Ayahnya dengan tak senang, yang terakhir hanya bisa tersenyum masam, sementara Amaya terkikik melihat kejenakaan mereka.
Dengan dengusan sebal, Amela berjalan pergi ke tempat duduk yang telah disiapkan untuknya. Namun, sebelum duduk, matanya masih melirik sekitar dan segera dia menemukan apa yang dicarinya.
Devin baru saja datang, mengenakan kemeja batik dengan balutan blazer tanpa kancing warna navy, itu outfit yang familiar baginya. Amela melihat Devin berjalan mendekat kepada orang tuanya, dia menyapa mereka sebelum terlibat percakapan singkat sampai ibunya menunjuk ke arahnya.
Pria itu menoleh, melihat kepada dirinya dan melambai sambil tersenyum. Sejenak, ada perasaan senang yang membuncah di hati Amela. Dia mengangkat tangannya, berniat melambai balik dan tersenyum.
Namun, dia membeku di tengah jalan. 'Tunggu! seharusnya aku lagi kesel sama dia!' keluh Amela.
Menatap kepada pria itu, Amela meledek dengan menarik kantung matanya dan menjulurkan lidah, sebelum berbalik dan duduk di tempatnya, berperilaku seolah tidak peduli pacarnya.
Disisi lain, gue tersenyum masam melihat aksi Amela barusan, sementara Tante Amaya, terkikik karenanya. "Kamu sih, pakai terlambat segala, dia jadi kesel kan tuh."
Gue menggaruk kepala dengan canggung. "Devin punya sedikit kerjaan, jadi datangnya agak lamaan."
Menggeleng tak berdaya, gue duduk di samping orang tua Amela, kami menonton acara wisudanya, terkadang mengobrol, mempertanyakan kesehatannya, atau prihal bisnisnya.
Juga, gue menawarkan diri untuk mengajak mereka makan di Restoran. Dengan jumlah uang yang dia miliki sekarang, gue ingin memberi semacam reward kepada diri gue sendiri, juga kepada Amela yang baru saja wisuda untuk makan bersama sebagai bentuk perayaan atas hari yang bahagia ini.
Dan syukurnya, mereka menerimanya dengan ramah.
Akhirnya tiba waktunya Amela naik ke podium. Dia bukan lulusan terbaik, tapi nilainya juga tidak buruk.
Menyelesaikan serangkaian acara, Amela akhirnya kembali. Kami mengambil banyak foto, mencoba mengabadikan setiap momen di hari itu.
Gue juga memberitahunya akan acara makan bersama untuk merayakan kelulusannya ini.
Amela sangat senang, sampai menjerit di tengah kerumunan, membuat kami menjadi pusat perhatian. Gue, Tante Amaya dan Om Yuda, tertunduk malu karenanya.
***
Malam telah tiba, dan gue saat ini sedang mengendarai mobil sedan hitam. Ini adalah mobil yang gue sewa, bagaimanapun, gue memiliki acara makan bersama malam ini, sesuatu yang gue janjikan kepada keluarga Amela siang sebelumnya.
Karena mobil city car gue yang biasa, agak tidak pada tempatnya untuk menjemput mereka ke Restoran yang sudah dipersiapkan, jadinya gue menyewa mobil yang lebih mewah, yakni BMW 3 Sedan.
Berkendara sampai akhirnya tiba di sebuah rumah besar tiga lantai yang familiar. Gerbang dibuka dan gue masuk untuk memarkirkan mobil, keluar, memastikan dirinya berada dalam tampilan terbaik dengan merapikan tuksedo hitam yang dia kenakan malam ini, sebelum berjalan ke pintu utama rumah.
Tante Amaya menyambutnya dengan ramah, mengajak masuk. "Amela! Devin udah sampai nih!" serunya kepada area tangga, dan detik berikutnya datang jawaban. "Iya Mah!"
Suara yang familiar itu membuat gue berdiri, menantikan sesuatu yang akan turun, dan benar saja, seorang wanita cantik dengan gaun malam yang indah dan menggoda, berjalan menuruni tangga.