Duduk di bangku pesawat, Amela menoleh, tepat di samping kanannya, ada jendela yang menampilkan pemandangan dari sebuah kota besar. Meski berada jauh di atas awan, dia masih bisa melihat gedung-gedung besar yang menjulang tinggi. Cahaya kuning lembut sore hari, membuat kota di bawahnya tampak berkilau keemasan.
Matanya berbinar senang, mengantisipasi kesenangan yang akan dia rasakan saat menjelajahi kota itu, Menoleh ke sisi kirinya, Amela berkata. "Beb, lihat deh, kotanya bagus banget!"
Gue terduduk memejamkan mata, menikmati alunan lagu dari band favortinya, tak mendengar kata-kata wanita di sampingnya.
Amela cemberut, dia menarik earphone di telinga pria itu, membuat yang terakhir menoleh tak senang padanya.
"Apa Mel?" tanya gue, saat ketenangannya di interupsi.
"Lagian kamu nggak dengerin aku sih!" jawabnya kesal, sebelum menunjuk ke jendela pesawat. "Itu, pemandangan kota di luar bagus banget, kamu harus lihat."
Mendengarnya, gue mengangkat alis, mencondongkan tubuh mendekat ke jendela dan menemukan pemandangan kota besar.
'Udah mau sampe?' tanya gue dalam hati.
Sebelumnya gue menghabiskan waktu hanya untuk bermain ponsel dan mendengarkan lagu, tak menyadari bahwa sepertinya mereka sudah sampai di penghujung perjalanan.
Dan benar saja, ketika tak lama pengumuman akan mendaratnya pesawat di umumkan dan kami diminta bersiap karena pesawat akan melakukan landing.
Beberapa menit kemudian, pesawat mengalami turbulensi ringan, membuat tubuh kami sedikit bergoyang. Di sampingnya Amela sudah menggenggam tangannya, dan gue mencengkram lebih kuat tangan lembutnya, berharap meredakan rasa khawatirnya, hingga akhirnya pesawat menyentuh landasan bandara dan perlahan melambat.
Setelah mendapatkan arahan untuk keluar, kami bangkit dan berjalan pergi. Dengan salam hangat para staf, kami meninggalkan pesawat, berjalan di boarding bridge dan masuk ke dalam Bandara Internasional Incheon, Korea Selatan.
Sudah sekitar satu bulan berlalu sejak acara wisuda Amela, dan besok malam, adalah malam pergantian tahun.
Dulu gue pernah mengatakan bahwa jika Angst Clothing sukses, gue akan mengajaknya jalan ke Korea. Tentu, waktu itu konteksnya hanya sebatas bercanda, namun sekarang, dengan keadaan finansialnya saat ini, tidak ada masalah jika dia ingin sejenak liburan ke luar negri.
Berpikir demikian, kami melanjutkan perjalanan, mengambil koper, membeli SIM card lokal untuk kebutuhan internet dan mengambil sejumlah uang tunai won.
Amela menatap terpesona saat kami berjalan ke luar Bandara, mencari supir Uber yang telah gue pesan. Mencari selama sepuluh menit, kami akhirnya bertemu dan mulai berjalan ke mobil, masuk ke dalam, dan pergi meninggalkan Bandara.
Selama ini, Amela hampir tak pernah mengalihkan perhatiannya dari jendela, menatap pemandangan di luar dengan rona bahagia yang tak bisa di sembunyikan. Seringkali dia akan memanggil gue untuk ikut melihat apa yang dilihatnya, sebuah aksi kekanak-kanakan yang memancing senyum kecil di sudut bibir gue.
Mobil berkendara, melalui Yeongjong Bridge, terus melaju sampai ke hotel di kota Seoul yang telah gue pesan jauh hari. Setibanya disana, kita masuk ke dalam, menyelesaikan check-in, mendapatkan kartu akses dan pergi. Menaiki lift, kita turun di lantai dua puluh empat dan memasuki kamar.
Di dalam, Amela meletakkan sembarang kopernya, langsung berjalan ke jendela besar di sisi kamar, melihat pemandangan kota Seoul dari atas.
Sementara itu, gue melihat kamar hotelnya, ini adalah sebuah kamar minimalis modern yang luas, dengan dua ranjang di sisi ruangan, dan ada sepasang sofa dan meja kecil di antaranya, menghadap pada jendela besar yang menampilkan pemandangan kota.
"Ihh... keren banget!" Amela berseru riang, sebelum berbalik, menghadap pacarnya dan menunjuk keluar. "Lihat tuh Beb! itu Seoul Tower! kelihatan dari sini! ihh... bagus banget!"
Gue terkekeh, berjalan mendekat dan melihat apa yang menjadi kesenangan Amela. Menatap ke luar, melihat sebuah bangunan yang tampak seperti menara pemancar, berdiri di atas sebuah bukit tinggi.
Jaraknya dari sini tak begitu dekat tapi juga tidak begitu jauh, masih cukup jelas untuk dilihat. Juga, gue bisa menemukan matahari sore yang perlahan terbenam di balik menara itu, membuat pemandangan di depannya tampak seperti sebuah lukisan yang indah.
"Aku masih nggak percaya aku bakal kesini," gumam Amela, menatap kota Seoul yang diselimuti cahaya kuning lembut sore hari.
Melirik kepadanya, gue bertanya. "Emang kamu belum pernah kesini?"
Tak menjawab, Amela malah bertanya balik. "Emang kamu pernah kesini sebelumnya?"
Gue menggeleng. "Nggak, ini pertama kalinya aku liburan keluar negri, kamu?"
"Aku pernah ke sini, sama temen-temen SMA ku dulu, waktu liburan sekolah," jawabnya, mengusap dagu sebelum tersenyum nakal dan menoleh kepada pacarnya. "Tapi aku masih nggak nyangka deh bakal kesini sama kamu."
Tubuh gue seketika membeku, ingin berkomentar tapi Amela lebih dulu melanjutkan. "Aku masih penasaran, gimana caranya kamu bisa ngebujuk orang tua aku, supaya kita bisa malam tahun baru di Korea, cuma berdua lagi, hihi..."
Amela terkikik lucu, dia tak bisa tidak mengingat hari dimana mereka berangkat.
Pacarnya menjemputnya ke rumah sementara orang tuanya hanya berdiri diam, melihat putri mereka dibawa pergi. Dirinya bisa melihat betapa tidak senang Ayahnya. Sepanjang waktu, Ayahnya hanya berdiri diam, menatap tajam pada pria yang menjemputnya.
Tapi disitulah yang membuatnya bingung, dia tidak akan pernah bisa pergi jika Ayahnya dengan serius tidak mengizinkannya, tidak peduli bahkan jika Ibunya ikut campur. Bahkan jika dirinya nekat untuk pergi tanpa memberitahu, Ayahnya pasti akan segera menyusul dan menyeretnya pulang.
Fakta bahwa Devin bisa membawanya pergi tepat di bawah hidung Ayahnya, menegaskan bahwa mereka sudah mendapatkan izin, terlepas betapa muram raut wajah Ayahnya melihat putrinya dibawa pergi.
Di sepanjang perjalanan, Amela sering menanyakan bagaimana kekasihnya itu bisa membujuk Ayahnya sehingga mereka mendapatkan izin untuk pergi liburan, menikmati malam pergantian tahun di luar negri hanya mereka berdua. Dan ya... jawaban yang diterimanya akan selalu seperti ini...
"Ini bagian dari hadiah kelulusan kamu," jawab gue dengan lesu, lelah karena mengulanginya lagi dan lagi. "Karena kamu suka yang korea-korea, jadi aku pengen ajak kamu malam tahun baruan di sini."
Amela menatap skeptis. "Kalo gitu, kenapa orang tua aku juga nggak ikut? aku yakin mereka nggak akan keberatan kok."
"Ehem," berdehem canggung, gue berkata."Mereka itu sibuk, punya pekerjaan lain, dan mereka juga cukup percaya sama aku, lagian kita nggak lama kok disini, lusa nanti kita udah harus pulang lagi."
Amela menyipitkan matanya, menatap lekat-lekat wajah pacarnya yang dengan canggung menoleh ke arah lain, menghindari tatapan menyelidiknya. "Hmm... oke deh," katanya, dia tahu bahwa ada sesuatu yang lebih, tapi dia merasa bahwa pria itu akan dengan keras kepala tak memberitahunya, jadi dia memutuskan untuk tidak menekannya lebih jauh.
Berpikir demikian, Amela pergi ke kopernya, berniat mengambil barang-barangnya.
Melihat wanita itu pergi, gue menghela napas, meski ini adalah perjalanan liburan, bagi gue, perjalanan ini adalah sebuah misi penting dalam hidupnya, bagaimanapun, dia akan melamar Amela tepat di malam tahun baru.
Itu jugalah yang menjadi alasan mengapa orang tuanya mengizinkan dia untuk membawa putri mereka ke negri asing, hanya berdua.
Berpikir demikian, gue tak bisa tidak mengingat kembali malam dimana dia menyatakan keinginannya, itu terjadi saat makan malam bersama sebulan yang lalu.
Waktu itu, setelah Amela pergi keluar untuk ke toilet, gue berterus terang pada Om Yuda dan Tante Amaya.
"Begini Tante, Om... Devin mau ngomongin perihal kelanjutan hubungan Devin sama Amela."
Mendengar nada serius gue saat membahas topik penting, keduanya menegakkan punggung, menantikan pemuda di depan mereka untuk melanjutkan.
"Devin punya rencana untuk bawa hubungan kami ini ke arah yang serius, jadi... itu..." Gue mulai gelapan, menundukkan kepala dengan malu.
Meski sudah memantapkan diri dan berpikir dirinya cukup berani untuk mengatakannya dengan tegas, tapi ketika tiba di lokasi, separuh keberaniannya mencair seperti es. Menelan ludah, menekan rasa malunya, gue bersiap untuk bicara, namun...
"Kamu mau ngelamar Amela?"
Mendengar nada lembut itu, gue mengangkat kepala, melihat Tante Amaya menatapnya dengan senyum lucu. "Tapi emangnya kamu yakin udah siap untuk nikah?"
"Devin siap Tante," jawab gue dengan anggukan tegas. Saat ini tabungannya sudah cukup untuk disebut mapan dan ideal untuk membina rumah tangga.
Meski belum bisa sepenuhnya mengejar kesenjangan ekonomi yang ada, gue percaya dengan tingkat pertumbuhannya, hanya soal waktu baginya untuk menyusul ketertinggalan itu, akan ada masanya dia tak lebih rendah dari para kaum sosialita yang menjengkelkan itu.
Melihat jawaban tegas Devin, Amaya mengangguk ringan. "Ini bukan cuma soal materi lho, ini juga tentang kesiapan mental," katanya, menyeruput ringan minuman di gelasnya dan melanjutkan. "Kamu seharusnya beda setahun dari Amela, sekarang anak itu umurnya 23, berarti kamu 24, di zaman sekarang, usia segitu hitungannya nikah muda."
Amaya menutup mulutnya dan terkikik. "Hihi... padahal dulu Tante nikahnya umur 21, dan itu usia ideal di zaman itu, sekarang nikah di usia dibawah 25 aja disebut nikah muda, waktu bener-bener cepet berubah ya."
Memahami kekhawatirannya, gue menjawab dengan mantap. "Devin secara mental juga udah siap kok Tante, Devin percaya bisa jaga Amela."