-Pandora/Artha-
Pandora tidak takut, atau khawatir. Ia bersemangat. Sesuatu tentang menangkap para penjahat, sesuatu tentang menggunakan semua pelatihannya, sesuatu tentang maju dan menang. Pandora adalah pemburu, dan lawannya, Night dan Day, adalah buruan paling menggiurkan di seluruh Litania.
Jadi, saat melihat penjaga yang terbaring di tanah, Pandora menahan dirinya dari tersenyum.
Mangsa menantang.
Dan sang pemburu menerima.
Pandora telah berlatih. Dunia tahu Pandora telah berlatih. Pandora tidak akan kalah. Setelah cukup jauh dari Ivy, Ia tidak lagi menahan mulutnya dari melengkung, membentuk senyuman di balik topeng merah-hitam yang menutupi.
Kakinya mengikuti irama nafasnya. Perlahan. Terhitung. Matanya menatap seluruh ruangan, fokus --dan tidak fokus-- pada semua titik. Sayapnya menjadi perisai hangat di punggung. Tangannya mengambang di samping sabuk, siap mengambil belati andalannya kapanpun dibutuhkan. Namun semua masih tenang. Terlalu tenang.
Ketika angin malam tidak lagi mengibarkan bulu sayapnya, Dunia berdering.
Earpiece-nya berdering. Nging terasa menusuk tulang menembus kepala. Pandora menghempaskannya ke lantai, alat komunikasi itu hancur berkeping-keping. Dan deringan itu berhenti. Tapi semua sudah terlambat. Macan yang tidur sudah bangun.
Datang untuk melihat siapa yang menjawab undangannya, Night muncul. Menyeringai.
Berdiri di hadapan Pandora dengan wajah tertutup tudung. Laki-laki itu hanya diam di sana. Tangan Pandora memutih menggenggam kedua belati di sisinya. Mata pahlawan 19 tahun itu terfokus pada teka-teki diamnya sang teroris. Insting menyuruhnya maju, namun Pandora mendengarkan otaknya yang mengibarkan bendera waspada.
Melihat dari tidak adanya bayangan di kaki Night, kecurigaannya terbukti.
“Keluar.” Pandora memanggil. Memperingatkan mangsanya, ia tidak bodoh.
Tidak ada balasan.
Lalu ruangan tertawa nyaring, puas, senang menemukan lawan yang setara. Tawa memekakkan yang memenuhi seluruh kuil.
Bayangan Night di hadapannya menghilang.
Gelak setan itu datang dari mana-mana. Dari dinding, dari langit, dari lantai, dari pilar. Pandora dapat merasakan gelak itu keluar dari kepalanya sendiri. Indra elang sensitif membuat dunianya berkedip, gelap-terang-gelap, beritme dengan tawa. Pandora menahan lututnya, Ia memutar kepalanya dalam usaha sia-sia mencari asal suara.
Sampai Pandora sadar ia berdiri di tengah perangkap maut. Ia membanting tubuhnya berguling ke samping