-Ivy/Arun-
Arun mengedip-ngedipkan mata. Tidak salah lagi. Tidak ada lagi magia yang memiliki mata seperti itu. Suara detakan jantung yang berpindah ke telinga menekan kuat keinginannya untuk mempercayai bahwa ini hanya mimpi. Ini bukan mimpi. Di hadapannya, setidaknya 6 kaki, dengan kulit coklat dan rambut seputih matanya, berdiri menghalangi satu-satunya jalan keluar. Night.
Arun yang babak belur tidak bisa bergerak, tersungkur di hadapan penjahat paling kejam, paling menakutkan, paling licik di Kerajaan Litania. Tulangnya bergetar dalam tubuh. Arun akan mati disini. Arun tidak mau mati.
Mantera mengikat membuatnya tidak bisa bergerak, tapi ini bukan mantera, tubuhnya hanya tidak mau bergerak. Arun harus lari, tapi Arun tidak bisa bergerak. Yang bisa ia lakukan hanya menatapnya. Menatap ke dalam matanya yang kosong. Jika mata adalah jendela jiwa maka Night tidak memilikinya. Arun seperti tikus yang terjebak dalam lem, tidak bisa bergerak.
Night menjulurkan tangannya. Dengan sisa kekuatan yang ada, Arun menggerakan tangan untuk menghalangi wajah, berusaha menjaga bagian vital. Kepalanya masih berdenyut mendorong matanya keluar, tangan dan kakinya juga masih terasa seperti ditusuk beribu jarum. Arun tidak bisa melawan, tapi ia tidak akan jatuh tanpa -sedikit- usaha. Pandora tidak pernah menyerah, dan Arun tidak akan menyerah.
Arun menguatkan diri. Menunggu pukulan, serangan, apapun yang akan diluncurkan Night.
Tidak terjadi apa-apa.