Padahal Ada Aku di Sini

Athaya Laily Syafitri
Chapter #1

Tahun ke-17 Aerah

"Mamah?"

Kedua manik Aerah melirik takut ke setiap sudut kamar. Tirai berwarna hijau army menghalangi sinar rembulan. Cahaya oranye lampu tidurnya hanya menjangkau kasur dan nakas. Kegelapan sudut kamar seolah menyembunyikan sekelebat sosok hitam di sana.

"Mah? Mamah masuk kamar Aerah, ya?" cicit Aerah.

Tak ada sahutan. Gadis itu melebarkan mata seraya bangkit dari posisi berbaringnya. Ia meringsut menuju dinding di belakangnya, lalu menutupi kepala dengan selimut.

"Mamah! Nggak lucu, loh, ini! Mamah, 'kan, yang colek pipi Aerah tadi?!"

Rengekan keluar beruntun dari bibir Aerah. Ia duduk bersila. Selimut membungkus keseluruhan tubuhnya hingga yang tampak sisa wajah. Pandangan Aerah bolak-balik dari sudut kamar di samping lemari dengan tumpukan baju yang tergantung di dekat cermin.

Tuk. Tuk. Tuk.

Ada suara dari arah tangga. Aerah menatap horor pintu kamarnya yang setengah terbuka. Tampaklah lorong depan kamar yang gelap. Bulu kuduknya serentak berdiri.

"Mamah, udahan bercandanyaaaa!"

Sekali lagi. Tak ada sahutan. Aerah mendengus. Kentara sekali kalau tubuhnya gemetar sekarang. Perlahan, ia beringsut menuju tepi kasur—masih lengkap menyeret selimut.

Ketika Aerah menjuntaikan kakinya, ia menapak sesuatu benda persegi. Dingin, licin, dan padat. Aerah melongok penasaran untuk sekadar mendapati barisan domino yang jatuh teratur. Masa hantu main domino? Perlahan, Aerah membatin.

Gadis itu bergegas memasang sendal rumah. Ia berlari kecil mengikuti arah domino itu. Sesekali Aerah masih melirik seisi rumah yang gelap, hanya ada beberapa lampu yang menyala.

Domino berbelok menuju ruang tamu. Aerah mempercepat laju langkahnya. Seberkas cahaya datang dari sana. Mungkinkah orang tuanya ada di situ? Sedetik setelah menginjakkan kaki di ambang ruang tamu ...

"Selamat ulang tahun Aerah!"

Bibir Aerah sontak menurun ke bawah bersamaan dengan domino terakhir jatuh menimpa lantai. Konfetti ditembakkan. Kertas warna-warni beterbangan dan merebahkan diri pada kepala Aerah yang tertutup selimut.

"Yeee! Aerah udah 17 tahun!" sorak Faro sambil bertepuk tangan.

Aerah menghela napas, menarik satu per satu kertas dari kepalanya. Ia mendelik kepada Faro yang memegang nampan berisi bermacam donat. Tak lupa barisan lilin menghiasi kue tersebut. Lilin yang sama banyaknya dengan usia Aerah sekarang.

Detik jam terdengar jelas di antara keheningan malam. Aerah mengeratkan genggamannya pada selimut. Maniknya curi-curi pandang kepada Faro yang menjaga lilin agar terus menyala. "Aerah! Cepetan tiup lilinnya. Angin kencang, nih!"

Sudut bibir Aerah melengkung naik sedikit. Sekali lagi matanya menangkap senyuman Faro yang telah begitu lama tak ia lihat.

"Aku benci melihat nyala lilin ulang tahun." Aerah meniup lilin. Sebuah senyum simpul yang berefek bak duri muncul di bibirnya. "Ia mengingatkan kalau ajalku semakin dekat."

Faro bertukar pandang dengan Amna—ibunda Aerah. Pemuda itu tertawa pelan. Tawa yang tak terdengar tulus. "Aduh, Aerah ... jangan ngomong kek gitu, dong."

"Emang bener, 'kan? Kalo kita berulang tahun, berarti umur kita berkurang."

Aerah melenggang begitu saja ke arah sofa. Selimut tebalnya terseret pada lantai. Helai-helai poninya mencuat dari tindihan selimut.

"Tuh selimut diseret mulu. Kenapa nggak dilepas aja?"

Faro mengikuti bersamaan dengan ibunya yang belum bersuara sedikit pun. Faro menjatuhkan diri di samping Aerah. Gadis itu lekas menggeser tubuhnya, membentang jarak di antara mereka.

"Ini supaya ideku mengalir lancar di otak!"

"Loh? Kok jauh banget duduknya?" Faro yang bersiap tertawa berganti jadi mengerjapkan mata.

Aerah diam membisu. Matanya melirik ke arah lain. Selimut melingkup tubuhnya lebih erat, menghalau pancaran sinar bak kunang-kunang milik Faro.

Ya, bagi Aerah, Faro itu seperti kunang-kunang. Kecil dan terkesan sepele, tapi berarti. Seperti kunang-kunang yang menyala di tengah hutan gelap. Cahaya yang dipancarkannya menyambung asa orang-orang yang tersesat di dalam hutan.

Faro juga seperti itu.

"Lama banget, ya, rasanya."

Lampu di ruang tamu hanya menyala sebagian. Kipas angin berdesis pelan, mendaur ulang hawa sejuk di dalam ruangan. Tak ketinggalan atmosfer canggung antara dua insan manusia yang tak bertemu setahun lamanya.

"Aku kangen sama kamu, loh, Rah. Beneran." Faro mengacungkan jari tengah dan telunjuk, memperoleh atensi dari Aerah. "Suer! Tekewer-kewer!"

Keduanya berpandangan sejenak. Keramaian malam hari di Kota Malang yang takkan tidur mengisi latar. Rumah Aerah yang tak jauh dari gerbang kompleks menangkap jelas suara lalu-lalang kendaraan.

"Mamah ke mana?" Aerah celingak-celinguk. Sang ibu tak tampak batang hidungnya.

Faro bergumam kecil, tak peduli. Ia mendekat sedikit kepada Aerah lalu mencolek bahu gadis tersebut. "By the way, tadi kenapa keliatannya takut banget?"

Aerah tersentak. Ia menggeser tubuhnya menjauh—lagi—dari Faro. Alis si lawan bicara menukik. Faro menarik diri, menyandarkan punggung pada sofa.

"Pasti ngira kalau itu hantu beneran, yaa?" goda Faro setelah menghela napas dalam.

Si gadis memicingkan mata. Aerah meraih bantal sofa dan melemparnya kepada Faro. "Ini rencana kamu, 'kan, Faro?! Hobi banget bikin aku jantungan!"

Faro tergelak ketika bantal sofa mendarat tepat pada wajahnya. Ia melempar benda lunak itu kembali ke arah Aerah. "Kamunya aja yang penakut!"

"Heleh!" Aerah memukulkan bantal sofa kepada Faro. Jemari tangan kirinya memegangi selimut dengan erat. "Kamu juga penakut!"

"Nggak, lah!" Faro menangkis serangan Aerah seraya meraih bantal sofa yang lain. "Rasain, nih!"

Serangan Faro tepat mengenai pipi Aerah. Gadis itu terdiam beberapa saat dengan mata membulat lebar sebelum menggeram kepada Faro. "FARO!"

Terjadilah adegan saling pukul-memukul. Aerah menyerang wajah Faro bertubi-tubi. Mata lelaki itu sampai kelilipan. Mulutnya juga tersumpal salah satu ujung bantal.

Sedangkan Faro menyerang kepala Aerah. Selimut gadis itu jatuh ke atas sofa. Rambut sebahunya terekspos—yang langsung jadi bulan-bulanan Faro. Juga piyama lengan pendek dan celana pendek yang barusan ia bawa ke alam mimpi.

Rahang bawah Faro terbuka sedikit demi sedikit. Di bawah penerangan minim ruang tamu, sosok Aerah bersinar terang-benderang dalam pandangannya. Pukulan Faro melemah. Tumpuan lututnya pada sofa ikut goyah.

"Aerah, Mamah! Papah pulang!"

Suara sapaan tiba-tiba itu merobohkan keseimbangan Faro. Pemuda itu jatuh ke depan. Aerah memekik kecil ketika tubuh Faro menubruknya begitu saja.

"Aerah?" Kepala Herdi—ayah Aerah melongok di ambang ruang tamu. Diikuti Amna yang muncul dari belakangnya.

Mimik wajah Herdi mengeras. Langkahnya mengentak menuju sofa di mana Faro mengaduh dan mengangkat tubuhnya dari posisi memalukan itu. Namun, kerah belakang Faro ditarik begitu saja oleh Herdi. Pria setengah baya itu mengangkat kepalan tinjunya tepat di depan rahang Faro. "Mau kamu apakan lagi putri saya?!"

"Om! Om! Ini saya Faro, Om!" Faro menahan pergelangan tangan Herdi dengan lengannya yang gemetar hebat.

Lihat selengkapnya