"Bu Amna, anaknya ke mana?"
Amna yang tengah mengupas buah mangga menoleh dan tersenyum. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, sebelum memandang wajah ibu-ibu kompleks satu per satu. "Masih jalan-jalan, Bu."
"Sama siapa? Pacarnya?" tanya ibu yang lain.
"Aerah nggak punya pacar." Amna meletakkan biji mangga ke dalam kantung plastik hitam. "Dia pergi sama temennya."
"Temennya yang kemarin?"
Amna sekadar mengangguk. Disodorkannya piring yang terisi banyak buah mangga muda. Ibu-ibu kompleks berlomba mencomot lalu mencocolnya dengan sambal rujak.
"Bu Amna harusnya hati-hati, dong. Walaupun mereka temenan, nggak jamin kalo mereka nggak macam-macam."
Ibu yang lain menyahut, "Bener, tuh, Bu. Anak zaman sekarang macem-macem kelakuannya. Apalagi Aerah kan anak gadis, masih perawan. Harus dijaga bener-bener, Bu."
Bibir Amna tak mengucap apapun, sekadar tersenyum. Sorot mata keibuannya yang hangat menjadi sayu. Kerutan tua di ujung matanya tampak jelas.
"Jadi ibu itu nggak sembarangan. Kalo anak macem-macem, yang disalahin ibu. Kalo suami selingkuh, yang disalahin juga istri."
"Makanya itu, anak tuh harus dididik betul-betul. Suami juga dipegang erat supaya nggak melayang. Iya, nggak, ibu-ibu?"
Seluruh ibu kompleks berseru mengiyakan. Mereka terus berbicara sambil mengunyah buah mangga. Piring yang sebelumnya penuh mulai kosong, matahari bergeser sedikit ke arah barat.
"Bu Amna, kalo boleh tahu ... kenapa ada polisi dateng tahun kemarin?"
Amna mengangkat kepala, menatap ibu-ibu kompleks yang menunggu bak predator. Ia sungguh telah mencemplungkan diri dalam neraka dunia.
***
"Jadi ini kampung yang terkenal itu?"
Aerah berdecak kagum. Ia berputar, mengamati setiap sudut kampung yang dicat penuh warna. Bola warna-warni bergantungan pada tali yang dipasang menyilang di atas kepala. Pagar tepi jembatan masih menguarkan aroma baru cat.
Penduduk kampung tersenyum kala Aerah dan Faro melintas. Begitupun dengan sekelompok anak yang bermain di sisi sungai, mereka melambaikan tangan. Pengunjung-pengunjung lain menawarkan tempat duduk.
"Kamu mau duduk di mana?" Faro bertanya sebelum menyeruput es bobanya.
Aerah mengangkat bahu. Ia mengedarkan pandang. "Gimana kalo kita duduk di tangga aja?"
"Boleh."
Dengan ritme jalan yang agak cepat, Faro dan Aerah berjalan bersisian. Beberapa remaja sebaya mereka melemparkan siulan bercanda. Aerah mengalihkan pandang sambil memainkan tali hoodie. Sedangkan Faro tertawa dan mengacungkan jempolnya.
Aerah berhenti di pertengahan anak tangga. Ia duduk, lalu menepuk tempat kosong di sampingnya untuk Faro. Gadis itu menyapukan jari pada dinding kokoh yang bersebelahan dengan tangga. Batu berwarna yang terdiri dari ungu, pink, kuning dan berbagai macam warna lain membentuk harmoni indah dengan langit yang perlahan menjadi jingga.
"Aku jadi ingat masa kecil."
Kecipak air sungai menarik perhatian dua remaja itu. Senyum merayapi wajah Faro seraya ia menumpukan siku pada tangga di belakangnya. Aerah menyesap es jeruk peras sambil bertopang dagu.
Tawa menguar ke udara bak sekelebat warna pelangi. Anak-anak penghuni kampung memancarkan cahaya kepolosan yang langka. Cahayanya membentuk keselarasan dengan warna-warni Kampung Jodipan Malang yang tak lekang dilahap senja.
"Kalo aku jadi mereka kayaknya asyik, ya." Faro tersenyum kepada Aerah yang menatapnya. "Nggak tinggal di perumahan kota, kampungnya menyenangkan, bisa main sepuasnya tanpa dilarang."
Aerah mengedikkan bahu. "Jadi orang lain itu nggak enak. Jadi diri sendiri aja susahnya minta ampun. Apalagi jadi mereka yang nggak kita kenal dari lahir."
Faro terdiam memandangi sisi wajah Aerah. Si gadis tiba-tiba menolehkan kepala, menangkap basah dirinya. Aerah menyenggolkan punggung kakinya pada betis Faro.
Dengan sedotan diapit di bibir, Aerah mengulas senyum. "Kamu harus belajar buat lebih bersyukur, Faro."
Anak-anak kampung kini beralih memainkan layang-layang. Mereka berlarian ke sana ke mari, berlomba untuk menentukan layang-layang siapa yang paling tinggi. Beberapa bahkan saling menyenggol atau menyerang layangan milik temannya.
Pergulatan di langit lepas itu disaksikan Aerah dengan tawa Faro menemaninya. Gadis itu melingkarkan tangan pada lututnya sembari sesekali melirik kepada Faro. Pemuda itu diselimuti antusiasme hingga tak bisa lagi menutup mulutnya.
"Wah, gimana caranya main gulat layangan, sih?" Faro tertawa kecil sebelum matanya diakuisisi perasaan sedih tiba-tiba. "Main layangan aja, aku nggak pernah."
"Sedih amat. Masa kecil kurang bahagia." Aerah menuruni beberapa anak tangga, lalu melemparkan gelas plastik yang telah kosong.
Faro masih termangu di tempat. Ia mengisap boba yang tak bersisa lagi. Kedua manik coklat itu menatap lurus kepada euforia anak-anak di bawah sana.