Brak! Brak! Brak!
"Buka pintunya!"
Pintu kamar mandi bergetar. Bunyi ketukan semakin nyaring dan tidak berperikemanusiaan. Seorang gadis menyandarkan punggung padanya. Menekuk lutut ke dada, menenggelamkan wajah.
"Kau tidak dengar aku?! Buka pintunya!"
Si gadis mengangkat kepala ketika orang di sisi lain mulai mendobrak. Ia merangkak menjauh. Rambut sebahunya lengket karena keringat di wajah. Kedua bola mata hitam legam itu menatap pintu dengan napas tertahan.
"Sialan! Buka pintunya! Hei!"
Teriakan menembus pintu, memantul di dalam kamar mandi yang dingin, sempit dan hampa. Warna putih ubin selaras dengan baju yang dikenakan sang gadis. Ia susah payah berdiri dengan kakinya yang remuk dihajar angin dingin. Ujung bawah kemeja ditariknya paksa untuk menutup paha yang terekspos.
Suasana di luar berangsur-angsur senyap. Sang gadis jatuh berlutut di tepi bathtub. Jemari tangan kanannya terkulai memegangi pinggiran benda itu. Lantas air mata bercucuran hebat mengaliri pipi, membasahi lantai kamar mandi yang kering. Rintihan demi rintihan keluar dari mulutnya.
Tak lama tangisan itu berhenti. Seseorang memutar-mutar kenop pintu. "Tunggu saja kau!"
Tergesa, gadis tersebut berdiri. Ia menggertakkan gigi, melawan rasa nyeri yang menggerogoti paha hingga ujung jari kaki. Telapak tangannya lekas memutar keran, air keluar perlahan memenuhi bathtub.
"Akhirnya."
Air melimpah keluar melalui bibir bathtub bersamaan dengan pintu kamar mandi terbuka lebar. Dua orang pria berwajah kembar segera menyergap kedua sisi tubuh si gadis.
Tawa jahat menguar ke udara. Dinding dingin teronggok membisu saat tangan pemuda itu mulai membuka kancing kemeja si gadis satu per satu. Teriakan putus asa membelah malam. Kecipak air membangun harmoni.
Sebelum akhirnya gadis itu berontak.
***
"Bisa jelaskan alasanmu bolos kemarin, Hefaro?"
Tangan Faro yang mencomot roti seketika membeku. Dalam gerakan lambat, ia mengangkat kepala dan menatap kedua mata ayahnya yang berselimut kelebat amarah. Suasana bak pasar berganti hening bak kuburan.
Faro menghela napas. Ia meraih tasnya yang tersampir di kursi samping Aldi. "Aku pamit dulu."
"Adam Hefaro Gibran!" Faro berhenti melangkah, menundukkan kepala sebelum berbalik tubuh menghadap sang ayah. "Jangan lari dari masalahmu!"
"Palingan dia bolos karena jalan sama pacarnya," sambar Henna, masih mengunyah roti.
Seluruh kepala menengok kepadanya. Mata Faro membulat tak terima. Kaki kanannya mengentak, tapi dihentikan oleh sahutan Aldi. "Emangnya Kak Faro punya pacar?"
Henna mengangkat bahu. Ia melirik skeptis si adik pertama dari ujung kepala sampai ujung kaki. "Mungkin. Faro nggak jelek-jelek amat."
"Heh!" seru Faro tak terima.
"Faro, kalo bener kamu bolos karena pacaran. Ayah nggak terima!"
Pemuda itu menggigit bibir. Ditariknya tangan perlahan dari cekalan sang ayah. Faro menghela napas dalam sekali lagi. Pandangannya berpindah dari Henna, Aldi, ibunya dan terakhir ayahnya.
"Aku nggak bolos karena pacar, kok." Faro menatap nyalang. "Aku cuma bosan sama pelajaran sekolah."
Di meja makan, Henna berdecak. Ia menurunkan gelas air putih sebelum sempat meminumnya. Sembari melipat tangan, Henna memiringkan kepala dan tersenyum miring. "Bosan? Mau jadi apa kamu?"
"Kakak nggak usah sok bijak, deh. Kakak juga nggak pinter-pinter amat, 'kan?"
Plak!
Tamparan mendarat pada pipi kiri Faro. Suaranya memenuhi meja makan. Semua orang menghentikan kegiatan dan menunduk dalam.
Ayahnya menatap Faro dengan dada naik-turun. Wajah beliau memerah dengan kedua mata seakan membolongi kepala anak keduanya. Genggaman tangan Faro pada tali tas mengerat. Hawa tegang menyusup di antara mereka.
"Seenaknya kamu bilang begitu?" Suara ayahnya rendah bak gemuruh di langit mendung. "Kakakmu itu pengelola butik, adikmu penyanyi remaja! Sedangkan kamu? Belum jadi apa-apa! Jaga mulutmu kalo nggak bisa jaga kelakuan!"
Napas Faro memberat. Ia terengah di tengah pagi yang cerah. Diam-diam, matanya melirik sang ibu yang mengoles selai pada roti. Beliau tak mengucapkan apapun, bahkan tak mengalihkan pandang sedikit pun dari pekerjaannya.
"Cepat berangkat!" Satu pukulan mendarat di bahu Faro, disusul pukulan-pukulan berikutnya. "Belajar yang benar, Faro! Jadilah sesuatu! Ayah nggak mau kamu berakhir di jalanan."
Faro meneguk ludah yang sekeras batu. Ia berbalik tubuh, menghindari mata kakak dan adiknya. Tangga rumah ditapakinya satu per satu, perlahan menjauhi neraka itu. Kemudian sebuah suara lembut menahan langkahnya.
"Faro." Suara ibunya memanggil lembut, syahdu bak angin sejuk. "Kamu mau jadi dokter, bukan? Belajar yang benar."
Tak berkedip sekalipun Faro saat memandang ibunya. Ternyata beliau sama saja.
***