"Blah! Blah!" Faro meludah ke aliran sungai yang deras. "Kenyang perut ini gara-gara minum air sungai."
Aerah melirik sejenak seraya mengangkat bahu dengan wajah jumawa. Dengan dua tangan, ia menggenggam ponselnya. Pada layar gelap itu, tertampang pesan baru dari ibunya. Aerah meneguk ludah sebelum mendesakkan benda tersebut ke dalam tas punggungnya.
"Gimana? Lanjut, nih?"
Aerah melompat kecil setelah sentuhan pelan Faro pada bahunya. Gadis itu mengusap dadanya, berbalik dan tersenyum kepada sang sahabat. "Jadi, dong. Kita ke Pantai Balekambang, 'kan?"
Kepala Faro mengangguk kuat hingga rambut gondrongnya yang basah mencipratkan air. Aerah melindungi wajahnya dengan kedua tangan, kemudian melotot kepada Faro. Mereka bertatapan untuk beberapa saat dan berakhir ketika Faro berlari cepat di atas kerikil batu sungai.
"Kejar aku kalo bisa!" Kalimat Faro diikuti aduhan. Ia berlari dengan sepatu dijinjing, alias tanpa alas kaki. Faro berjinjit, mengambil langkah lebar. Namun, tetap berpapasan dengan kerikil tajam.
"Faro! Tungguin, ih!"
Aerah menyusul. Sepatu flat terpasang pada kedua belah kakinya, tapi ia tetap saja limbung sana-sini. Kerikil di situ beragam ukurannya dan tingkat ketajamannya. Aerah sekadar geleng-geleng melihat Faro yang jauh di depan.
Di depan sana, Faro memasang sepatunya dan mengulurkan tangan. Aerah menunduk seraya bergeser sedikit lebih ke kanan. Digenggamnya erat tali tas. Uluran itu dilewati Aerah bak angin lalu.
Faro mengulum, meneguk kekecewaan. Tangannya kembali ke sisi tubuh, tak lupa diusapnya punggung tangan pada paha. "Ayo."
Mereka berjalan beriringan. Aerah memandang punggung tegap Faro yang tampak semakin familier seiring perjalanan mereka. Pemuda itu telah tumbuh dewasa. Jauh lebih tinggi, lebih tampan dari sepuluh tahun silam. Ia bukan lagi Faro kecil yang sering mengajaknya bermain congklak. Waktu telah banyak berlalu, begitu pun dengan kehidupan keduanya.
"Nih helmnya." Aerah tersentak, menyambut benda yang diulurkan Faro. "Jangan melamun, dong."
Aerah meletakkan tas di belakang Faro, sebelum menaiki jok motor. Teringat kembali isi pesan ibunya, "Jangan lama-lama. Mamah nggak enak jadi omongan tetangga."
***
Angin berkesiur kencang di atas permukaan air laut. Pantai pasir putih menghampar luas melatari pohon-pohon bakau. Jembatan panjang dari kayu warna coklat membentang, membelah kanvas pemandangan ciptaan Tuhan tersebut.
Aerah melipat dua tangan pada pagar jembatan. Matanya memicing ke arah laut lepas. Sang sarayu menggoyangkan rambutnya yang diikat kuda.
"Aku suka gayamu kalo kayak gini."
Jemari Faro menyusuri rambut Aerah, tapi gadis itu langsung memukul tangannya dan mengambil langkah menjauh. "Jangan sentuh."
Faro membalikkan posisi. Ia menumpukan kedua siku pada pagar. Kepalanya didongakkan, menyambut cahaya matahari. Rahang tegas dan hidung mancung miliknya terekspos begitu saja di depan mata Aerah. Bulu mata Faro nan lentik menambah sedikit kesan feminim.
"Gimana sekolahmu?" Aerah bertanya sembari menahan diri dari terus-terusan menatap Faro.
Si lelaki menolehkan kepala. Ujung kemeja yang dipakainya sebagai outer berkibar. "Kenapa tiba-tiba nanya sekolah?"
"Nanya aja, kenapa emangnya? Kamu ngarep apa, hm?"
Faro memajukan tubuh untuk menanggapi delikan Aerah. "Kamu khawatirin aku, 'kan? Tenang, aku nggak dibully, kok."
"Idih, geer!" elak Aerah seraya menjaga jarak aman di antara mereka.
Pemuda itu tertawa lebar hingga kedua matanya membentuk lengkung senyum terbalik. Angin laut menerpa mereka berdua. Diam-diam seutas senyum merayapi bibir Aerah.
"Oh, ya. Btw, tadi itu rame, loh, di sekolah."
Aerah menopang dagu, memerhatikan orang-orang yang berendam di air laut. "Rame kenapa?"
"Anak cowok sama cewek bertengkar, debat, baku hantam! Pokoknya gitu, deh!"
Mata Aerah membelalak. "Ngeri amat. Karena apaan?"
"Masalah cita-cita." Faro berdeham, mengawali ceritanya. "Di kelasku ada cewek ambis, mengintimidasi pokoknya. Biasalah, cewek ambis pasti cita-citanya tinggi. Itu yang diolok-olok cowok kelasku."
"Terus?" Dahi Aerah mengerut.
"Mereka adu mulut. Para cowok bilang kalo cewek nggak usah sekolah tinggi karena bakalan tetap di dapur, mending sisain kerjaan buat cowok. Mereka bilang takut kalo nanti jadi pengangguran seandainya semua cewek bekerja."
Hening. Bunyi kecipak anak-anak yang terjun ke laut terdengar jelas. Faro memiringkan kepala. Ia memicingkan mata kepada Aerah yang tergugu. Pandangan gadis itu melekat entah ke mana.
"Lucu," ucap Aerah pendek, diiringi tawa bernada sarkasme di ujung kalimatnya. "Cowok zaman sekarang nggak ada usaha, ya? Semua rezeki udah diatur Tuhan, segitu takutnya nggak dapat kerjaan."
"Mereka bilang cowok bakalan cari nafkah. Kalo nggak kerja, gimana bisa ngasih anak dan istrinya makan?"
"Iya, aku tahu. Itu fakta." Aerah memukulkan kepalan tangannya pada pagar. "Aku cuma nggak suka cara mereka bilang itu ke cewek. Kami juga manusia, berhak punya cita-cita yang tinggi. Kalo emang takut tersaingi, berusaha lebih keras. Orang-orang kayak gitu mencari kelegaan dengan merobek impian orang lain."
Faro mengerjapkan mata. Sedikit demi sedikit mulutnya terbuka. Ia bergumam kagum seraya bertepuk tangan. "Ini bisa jadi pidato, loh. Pidato kelas dunia!"