Padahal Ada Aku di Sini

Athaya Laily Syafitri
Chapter #5

Tempat yang Menjadi Saksi

Debu beterbangan keluar dari lemari kayu yang engselnya macet. Aerah mengibaskan tangan di depan wajah, terbatuk menghadap samping. Matanya berbinar cerah ketika disuguhi tumpukan baju berwarna-warni serta beragam modelnya.

Gadis itu menarik selembar dress selutut motif gingham. Dikibaskannya baju itu, sebelum mematut diri di hadapan cermin yang lebih tinggi dari badannya. Senyum terpoles amat cerah di bibirnya melebihi matahari yang terus merangkak naik.

Aerah membuka laci lemari, mengeluarkan tas berisi peralatan make up. Dilemparnya benda itu ke atas ranjang, kemudian turut mengempaskan diri di sana. "Mari kita lihat~"

Memegang kembali barang-barang itu setelah setahun terasa berbeda bagi Aerah. Ia terkikik pelan sembari terus memeriksa tanggal kedaluarsa dari peralatan pemoles wajah tersebut. Aerah bersorak riang seraya menggulingkan badan dan menendang kakinya ke udara.

"Masih bisa dipakai!" seru Aerah, turun ke lantai dan melompat kecil.

Dress gingham berwarna berbagai macam jenis pink segera dipakainya. Piyama kebesaran yang tadi melapisi tubuhnya disingkirkan begitu saja ke ujung ruangan. Dress yang sudah menjadi penghuninya sejak satu setengah tahun lalu itu ternyata masih muat dipakai.

Kerah baju yang cukup rendah menampilkan kalung berliontin A dan tonjolan tulang leher Aerah. Senyum gadis itu perlahan menipis. Jemarinya menyapu lembut bagian tulang kemudian terus berlanjut ke tulang selangka hingga pergelangan tangannya yang berdiameter kecil.

Air mata yang bergenang dihapus Aerah secara kasar. Ia menatap cermin dengan pandangan mata yang mengabur. Aerah memeluk dirinya sendiri, merasakan betapa longgar dress pada badannya. Pinggangnya jauh lebih kecil daripada ukuran pinggang pakaian tersebut.

Aerah meraih lip tint dengan tangannya yang gemetar. Ia menggigit bibir, menahan rasa mengganjal di tenggorokan. Sebelum melangkah lebih dekat ke cermin, Aerah mengerjapkan mata. Namun, lapisan bening mengganggu itu tak serta-merta hilang.

Tutup lip tint diputar Aerah. Ujung pengoles telah dilumuri lip tint beraroma stroberi. Belum sempat cairan itu mencapai bibirnya, bendungan tangis Aerah jebol.

Sambil berteriak frustrasi, Aerah melempar botol lip tint kepada cermin. Tangan kirinya tertumpah sedikit pewarna bibir itu. Aerah jatuh terduduk, meremas rambut sebahunya yang mulai memanjang.

Aerah menutup wajah dengan kedua tangan. Isak tangis bak lolongan anjing putus asa terus bergulir dari bibir tipisnya. Dari celah jari tangan, pemandangan cermin berhiaskan cairan merah muda menghantui indra pandang.

Gadis itu menarik lutut ke dada. Ia menenggelamkan wajah setelah melipat tangan. Namun, tak berselang lama, Aerah menumpukan dagu pada lengan. Matanya lurus bersitatap dengan sosok menyedihkan yang berlumuran air mata.

Pipi yang tak segembul dulu. Binar mata yang berubah. Dua bilah bibir yang semakin hari semakin kering. Begitupun wajahnya yang aktif memproduksi minyak secara berlebihan.

Aerah meremas rambutnya. Sebuah rasa sakit memukul rongga kepalanya secara brutal. Isi perutnya bergejolak, berusaha memuntahkan isinya. Tangannya lekas melingkari leher, menahan cairan bercampur bulir nasi yang telah sampai di kerongkongan.

Sekali lagi, Aerah menatap dirinya yang terpantul pada cermin. Ia menghela napas dalam. Ia ingin lari, lari lagi, terus lari dari kehidupan.

Ia berantakan. Ia kotor. Ia tak berguna. Hanya hal itu yang terus berputar dalam kepala Aerah.

***

"Mah, rotinya cuma segini?" Aerah berteriak. Kalimatnya terdengar seperti orang yang berkumur. Rongga mulutnya dipenuhi roti tawar selai tiramisu.

Suara sandal Amna mendekat. Ibu Aerah itu meletakkan nampan berisi belasan roti tawar di depan putrinya. "Ini. Makan yang banyak, ya."

Tangan Amna mengusak pelan kepala Aerah. Si gadis semakin menundukkan kepala. Tak sekalipun menatap mata sang ibu maupun mengalihkan pandangannya.

Aerah mengusap pelan perutnya yang bergemuruh. Ia masih dapat merasakan rasa mulas setelah menyelesaikan panggilan alam. Sekaligus diam-diam muntah hebat di kamar mandi tadi.

Namun, Aerah tak merasa perlu untuk mengingatnya. Gadis itu kini bersenandung kecil sambil mengoleskan selai dengan telaten pada setiap roti. Produksi air liurnya terangsang ketika aroma khas kopi dari selai tiramisu membaur bersama udara. Warna coklat cerah pada permukaan putih roti membangkitkan nafsu makan.

Setelah selesai mengolesi enam lembar roti, Aerah menggabungkannya menjadi tiga tangkup. Meneguk ludah, ia langsung melahap gigitan besar roti. Rahang Aerah bergerak cepat menghaluskan lembar karbohidrat itu, kemudian mendorongnya ke dalam kerongkongan untuk menikmati sensasi peristaltik. Hal serupa terus berulang hingga tangkup roti yang ketiga hampir ludes.

"Gitu, dong. Makannya yang banyak."

Kegiatan mengunyah Aerah sontak terhenti. Ia lekas menundukkan kepala dan mengunyah pelan. Sang ibu bersandar di kusen pintu dapur. Wajah beliau yang mulai dihiasi keriput semakin mengerut mendapati Aerah terburu-buru merapikan poni.

"Apa yang kamu sembunyikan dari Mamah?" tanya Amna dengan nada rendah, melangkah mendekati sang anak semata wayang.

Susah payah Aerah menelan suapan terakhir. Ia meneguk perlahan air dari gelas berleher tinggi. Mata tajam milik ibunya menembus sisi lengkunh dari benda kaca tersebut. Aerah merapikan meja dalam gerak lambat, kemudian meletakkan kedua tangan di pangkuan.

"Aerah." Amna mendekat. "Lihat Mama."

Aerah menepis jari ibunya. Gadis itu membuang muka, napasnua terengah. "Nggak ada, kok, Mah."

Amna menghela napas. Ia melingkarkan jemari pada pergelangan tangan Aerah. Ibu jarinya mengusap pelan area tersebut.

"Aerah kalo ada apa-apa, cerita. Mamah pasti dengerin, kok," bisik Amna.

Sang putri bergeming. Aerah mengatup mulutnya rapat. Ia mengucak mata kirinya yang masih membengkak. Serta mendengus kecil karena hidungnya tersumbat.

Amna memijat pelan bahu Aerah, tapi gadis kesayangannya itu tak bereaksi. Amna meneguk ludah seraya berjalan memutari meja. Ia menempati kursi di hadapan Aerah, bertopang dagu dan berusaha mengintip ekspresi si anak.

"Lihat tanganmu. Kurus banget," lirih Amna. Ia menarik dagu Aerah. "Kamu menangis, Rah?!"

Aerah tersentak oleh nada bicara ibunya yang meninggi. Tenggorokannya tercekat. "I- iya."

"Aerah," panggil Amna lembut. Ibu tersebut memegang kedua belah tangan anaknya, tersenyum. "Kenapa, hm? Ayo cerita."

Lihat selengkapnya