Bersepeda dan menikmati kobaran angin yang menerpa rambutnya menjelma menjadi kebahagiaan kecil bagi Aerah. Bunyi rantai sepeda yang bergesekan menemani siang harinya. Matahari tengah berkobar memanggang kota. Namun, Aerah yang terbalut hoodie abu-abu seakan menantang panas yang menyengat.
"Sunyi banget, ya. Mungkin masih pada kerja ama sekolah." Aerah mengangkat bahu, menambah kecepatan sepedanya mengelilingi kompleks.
Dari jendela-jendela yang terbuka, menguar berbagai bau masakan. Para ibu rumah tangga tengah bekerja keras menyiapkan hidangan terbaik. Berkutat dengan api kompor yang mengintimidasi serta air mata yang menetes karena irisan bawang. Aerah lantas teringat ibunya—selalu menyajikan makanan sedemikian rupa meski sang ayah selalu berakhir makan di luar rumah.
"Papah sama Mamah sudah rela biayain kamu home-schooling supaya kamu aman, kamu juga enak di rumah aja."
Aerah mengunyah pelan butiran nasi yang kini terasa hambar. Denting sendok ayahnya melambat, hingga akhirnya berhenti. Suasana di ruang makan semakin senyap. Jantung Aerah yang berpacu cepat mengisi keheningan.
"Kamu nggak bisa ninggalin pelajaran cuma karena ketemu sama si Agam!" Herdi menyilangkan sendok dan garpunya, meraih jas yang tersampir di kursi.
Peralatan makan diletakkan Aerah perlahan. Ia melipat tangan, mendongak kepada Herdi dari balik poni sampingnya. "Papah ingat, 'kan, kelakuan Kak Agam? Aku nggak bakalan bisa lupain itu."
"Aerah," tegas Herdi seraya mendelik dari ujung mata. "Masalah itu udah selesai. Jangan diingat atau diungkit lagi. Itu cuman bikin kamu stres."
"Aku udah berusaha, Pah!" seru Aerah, memukulkan kepalan tangan pada paha. "Tapi … tapi ..."
Aerah meneguk air liurnya yang menggumpal di pangkal tenggorokan. Tangisan tertahan turut ia telan tak bersisa. Pandangan kedua orang tua yang tertuju padanya membuat gadis itu ciut.
Herdi menghela napas, ia mendekati kursi Aerah kemudian mengelus pelan punggung anak semata wayangnya tersebut. "Nak, kamu cuman perlu mengalihkan pikiran dari itu. Belajar, ya. Papah yakin kamu nggak bakalan terdistraksi lagi oleh masa lalu itu."
"Aerah pengen istirahat, Pah. Aerah capek," lirih Aerah, mengusap ujung mata.
Amna mengusap ujung sendok dengan jarinya yang berkeringat dingin. Ia bertemu pandang dengan Herdi yang memutar bola mata. Herdi mendelik, mengerutkan alis kepada Amna sebelum berlutut di hadapan putrinya.
"Capek kenapa, hm? Karena jalan-jalan?" tanya Herdi dengan senyuman. "Kamu istirahat dulu di kamar, tapi jangan sampe bolos home-schooling."
Bibir Aerah melengkung ke bawah. "Papah nggak paham kalo aku trauma ketemu sama Kak Agam? Mental aku yang capek, Pah. Bukan fisik."
Herdi membuang muka. Diraihnya kedua tangan Aerah lalu dikecupnya. Dengan mata berbinar, Herdi menatap lurus kepada anaknya.
"Papah paham, Rah. Selalu. Makanya Papah suruh kamu supaya tetap belajar. Masa depan kamu penting, jangan sampai trauma ini menghalangi kamu."
Aerah menyentak tangannya dari genggaman Herdi. Ia mengubah arah duduk dan menyilangkan tangan di depan dada. "Trauma nggak semudah itu, Pah—"
"Nggak semudah itu?!" Herdi meninggikan kepala. "Tapi kamu dengan mudahnya pergi jalan-jalan dengan Faro!"
Tubuh Aerah melompat kecil. Dua mata bulatnya melotot. Mulutnya terbuka, tapi Herdi melanjutkan kalimatnya.
"Kamu punya ketakutan disentuh laki-laki! Namun, kamu tetap boncengan berdua naik motor dengan Faro! Bisa jelaskan ini, Aerah?"
Manik Aerah bergerak ke sana-ke mari. "Papah, Faro itu beda—"
"Beda? Setelah kamu selesai konsultasi ke psikolog, kamu bahkan takut sama Papah, tapi nggak takut ke Faro!" Herdi menuding wajah Aerah hingga Amna berdiri untuk menariknya menjauh. "Aerah, ada yang nggak beres sama kamu, Nak!"
"Faro melindungi aku, Pah. Dia bela aku di hadapan pelaku pelecehan!" Aerah bangkit, matanya berkaca-kaca. "Sedangkan Papah? Papah masih egois, mikirin diri Papah sendiri!"
Aerah menguap, mulai bosan. Rumah-rumah dengan model yang hampir serupa terus dilaluinya semenjak tadi. Pohon yang tumbuh di depan rumah warga tak membantu banyak terhadap rasa kantuknya. Setelah mempertimbangkan berulang kali, Aerah akhirnya mengayuh sepedanya ke arah luar kompleks.
Gadis itu menghentikan sepedanya di dekat pos satpam. Aerah memperhatikan pria itu beberapa saat. Kala satpam itu membalikkan badan dari gerbang kompleks, Aerah mengayuh sepedanya dengan kecepatan penuh.
Ia berhenti lagi di dekat Indomaret. Kedua mata yang menyipit karena sinar matahari itu mengamati pintu masuk yang tembus pandang. Tidak ada kasir yang sedang berjaga. Aerah mengayuh lagi dengan perasaan aman karena tak ada orang dikenal yang melihatnya.
Senyum lebar menghiasi wajah Aerah. Ia mengangkat tangan kanannya ke udara. "Yuhu! Akhirnya bebas!"
Ada suatu perasaan ringan di dadanya ketika menyusuri jalanan kota. Jiwanya seakan terlepas dari belenggu, terbang bersama udara yang berembus dari sela daun pepohonan. Ia merasa hal itu jauh lebih menyenangkan daripada berkendara bersama Faro.
"Faro?" Aerah menaikkan tudung hoodie. "Dia masih di sekolah kayaknya."
Sisi kiri bibir Aerah naik, membentuk seringai. Ia memperhatikan kendaraan yang berlalu-lalang sebelum menuju sebuah tempat. Sekolah Faro—yang harusnya jadi sekolahnya juga.
Namun, sayang. Karena kejadian itu, impiannya untuk bersekolah harus lenyap ditelan bumi.
***
"Triple kill!"
"Main game terus, Ro." Antariksa menyesap es yang ia beli dari paman penjual pentol sambil menyenggol pelan lengan Faro.
Faro mendecak. Jarinya sibuk menekan berbagai sisi layar ponsel. Dirinya terlalu fokus membunuh setiap musuh yang muncul. Faro semakin menyamankan diri dengan menyandarkan punggung pada pagar beton sekolah.
"Nggak mau jajan?" Kini Galang yang menegur Faro. "Cilok bumbu kacang yang gue kunyah ini enak banget, loh!"
"Kalo enak, dipendam aja, mah. Gue lagi nggak nafsu. Jangan hasut gue kayak selebgram-selebgram gitu!" sahut Faro tanpa mengalihkan pandang.
Galang menelan makanannya sebelum berujar, "Gue lagi latihan jadi selebgram. Followers IG gue lagi naik, coy. Jadi 200!"
"200 aja bangga!" Faro tergelak seraya bersorak kecil karena berhasil memenangkan permainan.
Galang cemberut tidak terima. Tanpa berucap apapun, pemuda itu kini berpindah ke sisi Antariksa. Sedangkan Faro beralih membuka halaman pencarian Instagram dan menemukan berbagai macam meme di sana.
Para siswa masih ramai di depan gerbang walau sudah waktunya untuk pulang. Ada yang sekadar jajan, ada yang gibah-gibah ria dan ada yang gabut seperti Faro. Di saat teman-teman lelaki sekelasnya sedang bercanda ria, Faro duduk diam di dekat mereka.
Dan hal itulah yang menarik perhatian Aerah. Gadis itu berdiri tepat di seberang tempat Faro duduk. Dengan kepala yang sempurna tertutup oleh hoodie, Aerah curi-curi pandang kepada pemuda itu. Ia memasukkan kedua tangan ke dalam saku jaket sembari menunggu pesanan pentol gorengnya matang.
Ia berhenti bukan hanya karena makanan, tapi juga karena rantai sepedanya tiba-tiba putus. Aerah terus mengecek keadaan sepedanya yang teronggok di samping pohon. Tangan kanannya menepuk dahi berulang kali. "Gimana aku pulang? Mana jauh lagi dari rumah," batin Aerah.
"Paman, beli pentolnya dong lima ribu!"