Keesokan harinya..
Jam beker yang menunjukkan jam 07.00 pagi berbunyi. Aku terbangun dan membuka sedikit selimutku lalu mematikan jam bekerku. Aku kembali menarik selimutku dan rasanya aku tidak mau beraktifitas sama sekali.
Ibuku mengetuk pintu kamarku dan menyuruhku untuk sarapan, aku mengiyakan panggilan Ibuku. Sama seperti hari sebelumnya, aku tetap murung dan mengaduk-ngaduk makananku dengan sendok. Aku kembali makan dengan lambat dan lesu. Ibuku merasa cemas dengan kondisiku dan merasa bersalah karena tadi malam harus merayakan ulang tahun Hana. Ibuku juga tahu kalau aku lagi patah hati karena Diana akan menikah.
Setelah sarapan, aku mandi, dan duduk di depan cermin kamarku. Aku melihat diriku di cermin seperti tahu bahwa wujudku sekarang sangat putus asa dan tidak bisa berbuat apa-apa bahkan mataku yang bengkak menjadi saksi betapa menyedihkannya aku. Aku menyalahkan diriku sendiri karena belum menyampaikan perasaanku pada Diana dan juga teringat Hana adikku. Aku menundukkan diriku dan kembali menangis.
Beberapa jam kemudian, aku mengenakan kemejaku berwarna putih polos, di dobeli dengan jas berwana hitam, celana kain warna hitam, dan sepatu hitam. Mataku yang bengkak membuatku khawatir jika aku pergi ke pernikahan Diana akan menjadi sorotan tamu-tamu disana. Aku kembali frustasi dengan keadaan ini.
Tak lama, pintu rumahku ada yang mengetuk. Ibuku membukakan pintu dan melihat Marry dan John. Ibuku memberi sapaan hangat dan senang kepada mereka berdua.
"Selamat pagi Bibi," sapa Marry dan John.
"Selamat pagi juga Marry, John," sahut Ibuku lembut.
"Ayo masuk dulu."
Marry dan John masuk lalu duduk di sofa ruang tamu. Ibuku melihat penampilan kami berdua. Marry dengan gaun panjang berwarna pink muda, rambut yang dibiarkan terurai panjang, serta riasan wajah yang terlihat natural. Sedangkan John, dengan baju kemeja putih, jas hitam, celana hitam panjang, sepatu sol warna hitam, dan rambut yang disisir rapi. Ibuku sangat menyukai penampilan mereka berdua.
"Bi.." panggil John.
Ibuku menyahut panggilan John.
"Dimana Hendry? Kami mau ke undangan Diana," lanjut John lagi.
"Dia di kamar, Ibu panggilkan dulu ya."
Ibuku mendatangi kamarku dan mengetuk pintu. Aku menyahut dari dalam kamarku.
"Marry dan John datang."
Aku mengiyakan kembali jawaban ibuku Aku menundukkan diriku dan melihat ke cermin.
Aku harus bagaimana sekarang?
Aku tak mungkin datang dengan mataku yang bengkak dan wajahku yang sedih begini. Ibuku kembali ke ruang tamu dan memberitahu Marry dan John untuk menungguku.
Beberapa menit kemudian, Hendry belum kunjung keluar dari kamarnya membuat Marry ga sabaran.
"Bi, lama sekali Hendry. Aku ke kamarnya aja ya," celetuk Marry dengan kesal.
"Ya udah, ke kamarnya aja kalau gitu," jawab Ibuku menyetujui.
Marry pergi ke kamarku dan mengetuk pintu kamarku.
"Hendry!" panggil Marry dengan suara nyaring.
Aku yang tahu bahwa suara itu suara Marry, menyahutnya dari dalam.
"Lama banget kamu keluar," sahut Marry kesal.
"Iya sebentar lagi," balasku.
"Aku masuk ya?" pinta Marry.
Aku mengiyakan permintaan Marry dan memperbolehkan dirinya masuk ke kamarku. Aku, Marry dan John adalah saudara sepupu, kami dari kecil sudah biasa masuk keluar kamar tanpa ada larangan.
Marry melihatku yang sedang duduk di depan cermin dengan setelan pakaian rapi tapi tidak dengan wajahku. Marry melihatku yang nampak lesu dan juga kedua mataku yang bengkak.
"Kenapa matamu bengkak? Kamu habis nangis?" tanya Marry.
Aku mengangguk.
"Kamu kenapa?" tanya Marry lagi.
"Ah tidak apa-apa. Aku hanya sedang sedih karena kemarin adalah ulang tahun Hana. Aku hanya merasa bersalah karena Hana ga sempat aku selamatkan."
Aku tidak mau memberitahu Marry kalau aku sedih karena Diana sehingga aku beralasan sedihku karena adikku. Marry memegang kedua bahuku, ekspresi wajahnya yang awalnya kesal menjadi sedih apalagi Hana adalah sepupu kesayangan dan teman main Marry.
"Hana.. Aku juga merindukannya." kata Marry sedih.
"Tapi itu bukan kesalahanmu Hendry. Kamu sudah berusaha keras menyelamatkannya. Aku rasa Hana saat ini sedang melihatmu di surga," lanjut Marry lagi.
Aku terdiam dengan kata-kata Marry. Marry melepas tangannya di bahuku dan mencoba menghiburku.