Padaku ( 나에게 )

Alif
Chapter #9

Persiapan

Di pagi hari, aku melakukan aktifitas seperti biasa dan membuka toko rotiku. Hari ini aku dan Bapakku dibantu Marry dan John karena pesanan roti juga cukup banyak dan harus diantarkan. Aku membantu Bapakku di dapur membuat adonan kue, Marry membantu menjadi pelayan, dan John membantu membawa kue pesanan ke rumah pelanggan.

Tak berselang lama, Marry melihat mobil yang ada di depan toko. Marry mendatangi mobil tersebut dan melihat wanita keluar dari mobil. Marry terkejut melihat wanita itu, wanita itu mendatangi Marry dan bertanya apakah ada Hendry di dalam.

“Iya, ada. Tapi silakan masuk dan tunggu saja di dalam. Aku akan memanggilnya,” ucap Marry.

Wanita tersebut masuk ke toko roti Happy Bread dan melihat sekeliling. Marry mendatangi Bapakku dan aku yang ada di dapur.

“Permisi Om, Hen,” sapa Marry.

Aku dan Bapakku menengok Marry.

“Ada tamu di depan, dia sedang mencari Hendry,” ucap Marry.

Aku mengernyitkan dahiku dan berpikir-pikir siapa tamu itu. Aku meminta izin Bapakku untuk mendatangi tamu tersebut dan bergegas menuju ke depan. Aku melihat wanita yang berdiri dan melihat jam tangannya. 

“Itu kan Ranita, ngapain dia kesini?” gumamku dalam hati.

Aku langsung mendatangi Ranita dan menyapanya.

“Hai,” sapaku.

“Hai,” balas Ranita.

“Em.. ada apa Ranita pagi-pagi kesini?” tanyaku pada Ranita.

“Ngajakin kamu jalan,” balas Ranita lagi.

Marry melihat aku dan Ranita dari jarak jauh. 

“Tapi aku...” kataku gugup.

“Kenapa? Ga bisa?” tanya Ranita.

“Bu-bukan itu. Aku.. em itu masih bantu bapak,” balasku.

“Ohh... mau ku bantu?” tawar Ranita.

“Emang kamu bisa?” tanyaku lagi.

“Kau meremehkanku? Aku akan membantu wanita itu menjadi pelayan dan membuat rotimu habis dalam sehari,” sahut Ranita.

Aku membalas perkataan Ranita dengan senyuman malu-malu. Ranita langsung mencepol rambutnya yang panjang. 

“Celemek pelayan dong,” minta Ranita.

Aku memberikan celemek pelayan kepada Ranita dan Ranita memakainya. Saat Ranita mau mengikat tali celemek ke belakang, aku refleks membantu mengikatkannya dan membuat Ranita kaget dan menolehku.

“Apa yang kau...” 

Aku menyelesaikan mengikat tali celemek Ranita dan memalingkan wajahku ke arah kanan karena aku malu dengan sikapku. Ranita mengeluarkan HPnya dan memfoto toko rotiku.

“Buat apa?” tanyaku.

“Buat promosi ke sosial mediaku,” balas Ranita sambil memposting foto toko roti Happy Bread di sosmednya.

“Bentar lagi, pasti banyak yang mesan,” gumam Ranita dalam hati.

Tak lama, HP Ranita bergetar dan Ranita mengangkat HPnya. Tampak wajah senang dan terkejutnya Ranita karena melihat banyak yang mengechat Ranita untuk memesan roti.

“Hendry kamu harus lihat ini,” panggil Ranita sambil menepuk bahu kiriku.

Ranita memperlihatkan chatnya kepadaku dan membuatku ikut senang karena banyak yang mau memesan rotiku.

“Sudah ku bilang kan,” kata Ranita.

Aku mengeluarkan catatan kecil dan pulpenku. Aku mencatat pesanan dari HP nya Ranita.

“Semua ada 50 pesanan dan diantarkan ke 3 rumah di Kota A,” gumamku sambil mencatat.

“Eh tapi rumah pesanannya jauh sekali,” lanjutku.

“Tenang aja kan ada itu,” ucap Ranita sambil menunjuk mobilnya.

“Wahh iya iya, tapi ga ngerepotin nih?” tanyaku lagi.

Ranita menggeleng-gelengkan kepalanya lalu mendorong punggungku.

“Ayo cepat buat, pelanggan menunggu,” kata Ranita sembari tertawa kecil.

Aku kembali ke dapur dan memberitahu Bapakku kalau banyak yang memesan roti dan harus diantarkan ke Kota A. Bapakku senang dengan kabar itu, aku mengeluarkan catatan kecilku dan memberikannya ke Bapakku.

“Kalau begitu ayo kita buat lagi,” kata Bapakku dengan ekspresi senang.

Aku dan Bapakku membuat roti kembali, kali ini bahan dan adonannya cukup banyak. Dan Ranita membantu Marry melayani pelanggan dan membawa pesanan mereka. Lalu John masuk ke toko roti dan melihat Marry bersama seorang wanita.

“Siapa wanita itu? Ah bukan saatnya penasaran, aku mau istirahat dulu,” gumam John dan langsung duduk di kursi pelayanan sambil menaruh tangannya ke belakang kepala dan memejamkan matanya. Marry mendatangi John yang duduk.

“Kak, sudah selesai?” tanya Marry.

“Hiyaa,” balas John dengan nada ucapan samar-samar.

“Hari ini pesanan roti banyak sekali,” kata Marry senang.

“Ada beeraapaa?” tanya John lagi dengan nada ucapan samar-samar

“50,” jawab Marry.

“Ohh 50. Hah 50?” kata John yang kaget tiba-tiba.

Marry mengangguk-nganggukan kepalanya.

“Serius?” tanya John tak percaya.

“Iya Kak. Semuanya akan diantarkan ke Kota A. Dan tahu berkat siapa? Berkat dia,” balas Marry sambil menunjuk Ranita yang sedang membawa roti untuk pelanggan.

John mengusap-usap kedua matanya dan mencubit pipi kanannya.

“Ini bukan mimpi kan?” gumam John dalam hati yang masih saja tak percaya.

Marry mencubit kembali pipi kanan John untuk meyakinkannya. John merintih kesakitan dan mengusap-usap pipi kanannya.

“Bukan mimpi kan Kak?” tanya Marry.

“Bukan. Bukan mimpi. Tapi siapa dia?” tanya John.

“Dia Kak Ranita, bilangnya calon istri Hendry,” balas Marry.

“Apa? Calon..” ceplos John kaget dan langsung ditutup mulutnya sama Marry.

“Bisa ga sih, ga usah lebay kagetnya?” celetuk Marry kesal.

“Kan aku kaget kalau Hendry sudah punya calon istri,” kata John.

“Iya tapi ga usah lebay deh,” balas Marry.

“Jangan-jangan dia yang mau dijodohkan sama Hendry kemarin,” kata Marry.

“Iya juga ya, lumayan sih cantik juga dia,” balas John sambil melirik Ranita.

...........

Akhirnya roti yang sudah aku dan Bapakku buat telah selesai. Aku mengambil tisu di meja dan mengelap wajahku yang berkeringat.

“Selesai juga Pak. Huh capek.”

Aku duduk sambil mengipas-ngipaskan tangan kananku karena capek dan juga kepanasan. Baju dan celemekku dipenuhi adonan dan tepung. Bapakku mengambilkan air dingin untukku.

“Minum dulu Nak,” kata Bapakku.

Aku meminum air putih dingin pemberian Bapakku dan menghela nafas berkali-kali.

“Hen... itu pesanan roti dari siapa kok tiba-tiba minta diantarkan ke Kota A?” tanya Bapakku.

“Dari Ranita Pak,” jawabku.

“Loh Ranita ada disini?” tanya Bapakku lagi.

“Iya. Tuh dia lagi bantuin Marry,” jawabku.

Bapakku melihat dari pintu dapur dan betul Ranita sedang melayani pelanggan.

“Suruh dia istirahat bentar Hen sekalian kasih minum,” suruh Bapakku kepadaku. 

Aku menuruti kata Bapakku dan keluar menemui Ranita.

“Ranita,” sapaku pada Ranita.

“Em,” sahut Ranita yang langsung melihatku.

Aku memberikan segelas air putih dingin kepada Ranita dan membuat Ranita tersenyum kecil. John menepuk siku kiri Marry supaya ngeliatin aku dan Ranita.

“Kenapa?” tanya Marry.

“Lihat tuh Hendry,” tunjuk John.

Marry melihat aku dan Ranita yang sedang berbicara.

“Hendry mau pedekate itu Kak,” kata Marry.

“Nekat juga ya pedekate di tengah-tengah pelanggan,” kata John juga.

“Tapi Hendry payah, masa dia ngasih minum, coba kek kasih roti kah atau bunga kan biar romantis,” ceplos Marry.

“Biar aja lah. Sibuk banget,” ceplos John juga.

Ranita mengambil air putih yang kuberikan dengan sungkan.

“Te-terima kasih,” ucap Ranita.

Aku membalas dengan senyuman kecil kepada Ranita.

“Istirahat dan duduk lah,” kataku pada Ranita.

Ranita menurutinya dan duduk di kursi pelanggan yang kosong. Sembari meminum air putihnya aku memberikan tisu kepadanya untuk mengelap wajahnya yang keringatan.

“Te-terima kasih,” ucap Ranita dengan terbata-bata.

“Tidak apa, kamu pasti capek kan? Keringat di wajahmu cukup banyak,” kataku.

Ranita menunduk dan membersihkan keringat di wajahnya, aku ikut duduk bersama Ranita.

“Kuenya sudah selesai,” kataku pada Ranita.

“Benarkah?” tanya Ranita.

“Iya,” sahutku.

Ranita melihat baju dan celemekku yang kotor juga melihat wajahku.

“Hen itu ada putih-putih di pipi kirimu,” tunjuk Ranita ke arah wajahku.

Aku mengusap-usap pipi kiriku dan bertanya pada Ranita apakah sudah hilang.

“Belum,” balas Ranita.

Ranita berdiri dan mengelap pipi kiriku dengan tisu. Pandangan mata kami bertemu dan langsung kami tersadar dan sama-sama malu dengan sikap kami.

“Ma-maaf,” kata Ranita dan aku secara bersamaan.

Lihat selengkapnya