Satu bulan kemudian...
Kami menikah di gereja dan mendatangkan penghulu nikah (pendeta) dari kota Aliev serta beberapa kerabat dan keluarga dari Ranita serta keluarga Hendry yang menjadi saksi pernikahan. Pendeta mengucapkan janji pernikahan kepada Hendry dan Ranita.
”Saya nikahkan Hendry Switch dengan Ranita Brianna. Apakah kalian bersedia menjadi suami istri dalam balutan cinta sampai akhir hidup kalian?"
Hendry dan Ranita menjawab "iya"
Pendeta mengalihkan diri ke Hendry untuk menuntun pengucapan ikrar janji pernikahan.
"Kepada Hendry Switch, apakah Anda sebagai suami bersedia menerima segala kelebihan dan kekurangan Ranita Brianna dan mencintainya hingga akhir?"
Hendry menjawab "Iya, saya bersedia."
Lalu, pendeta mengalihkan diri ke Ranita.
"Kepada Ranita Brianna, apakah Anda sebagai istri bersedia menerima segala kelebihan dan kekurangan Hendry Switch dan mencintainya hingga akhir?"
Ranita menjawab "Iya, saya bersedia."
Setelah ikrar janji pernikahan selesai. Hendry mencium kening Ranita. Hendry dan Ranita saling bergandengan tangan dan berjalan di karpet merah.
Kerabat dan kedua kelurga Ranita dan Hendry melihat kami berdua dengan syahdu pada pernikahan kami bertepuk tangan dengan perasaan bahagia. Aku menatap Ranita dengan gemetar, jantung berdetak kencang, dan gugup. Ini betul-betul momen yang pertama kali dan seumur hidup yang akan menjadi saksi kebahagiaanku di masa depan. Ranita menghadap ke arahku tapi pandangan matanya tidak melihatku, aku berpikir dengan kata-katanya dahulu bahwa ia belum menerima perjodohan ini tapi setidaknya aku harus menunjukkan bahwa aku menerima perjodohan ini dihadapan Ranita dan semua yang ada di ruangan ini.
“Aku berjanji Ranita, walau aku tau kamu belum menerimanya tapi ijinkan aku untuk selalu mencintaimu selamanya”.
Hendry dan Ranita keluar gereja menuju mobil yang sudah diparkir di depan untuk membawa kami menuju tempat pesta pernikahan yang sudah kami rencanakan sebelumnya. Keluarga kami meminta acara pestanya di ruangan terbuka di wilayah hutan Aliev yang mempunyai lahan yang luas. Menurut mereka, di ruangan outdoor bisa merefleksikan diri ketika selesai ijab kabul dan agar bisa dinikmati dengan santai oleh semuanya.
Sesampainya di hutan Aliev, kami disambut oleh para undangan yang bertepuk tangan dengan pernikahan kami dan gadis-gadis yang melempar bunga-bunga kepada kami. Kami berdua mengenakan baju pengantin yang kami pesan sebelumnya dari Elizabeth. Kami mendatangi tempat pelaminan dengan bergandengan tangan dan tangan kanan Ranita memegang buket bunga.
Interior outdoor memang sangat mendukung dan sesuai dengan suasana kami juga semua tamu undangan. Bahkan kursi pelaminan yang kami tempati dan juga kursi tamu yang terlihat sederhana dan berada di bawah pohon yang rindang tanpa adanya tenda yang ada di sekelilingnya. Meja untuk tamu undangan dibuat dengan sederhana juga dengan ditutupi dengan kain putih. Di sebelah kanan juga disediakan meja yang dihias rapi dan diisi banyak jar yang berisi bunga-bunga plastik untuk souvenir tamu. Di sebelah kiri disediakan makanan dan minuman prasmanan serta kue-kue dari toko roti Happy Bread yang disusun di potongan pohon yang rapi.
Aku menyukai konsep pernikahan ini tetapi saat aku melihat Ranita, ekspresinya seperti terlihat senang. Aku melihatnya sepertinya ia juga gembira dengan pernikahan ini atau ia pura-pura gembira karena tak mau semuanya termasuk keluarganya terlihat kecewa apalagi kami dijodohkan. Ranita melihatku dengan senyum cantiknya lalu telapak tangannya menggenggam telapak tangan kiriku. Aku membalas menggenggam telapak tangan kanannya dan tersenyum walau aku tahu mungkin Ranita berusaha menutupi agar semuanya terlihat senang juga dengan pernikahan kami.
Marry dan John melihat kami dari jauh dengan wajah yang bahagia dengan pernikahanku bahkan John sampai-sampai mengeluarkan air matanya. Marry yang penuh sukacita melihat John yang mengusap air matanya dengan tangan kanannya.
“Loh kok kakak nangis?” tanya Marry bingung kepada John.
“Aku terharu bukan nangis,” sahut John merengek.
“Kirain, kakak aneh nanti disangka tamu lainnya ada apa-apa lagi,” balas Marry.
“Disangka apa emang?” tanya John sambil menghapus air matanya.
“Disangka ditinggal nikah,” celetuk Marry.
Ekspresi John yang awalnya sedih menjadi kesal karena omongan adiknya Marry.
“Hei apa-apaan? Ga mungkin lah. Ada-ada aja kamu,” kesal John sambil memukul pelan pelipis kanan Marry.
Marry pun juga jadi kesal karena kakaknya John memukulnya.
“Apaan sih kak mukul-mukul? Maskaraku celemotan nanti,” kesal Marry.
“Meskeraku celemotan nanti,” ejek John.
“Apa kakak bilang?” teriak Marry.
“Sstt... berisik,” bisik John.
“Biar aja,” kesal Marry.
John tidak meladeni kesalnya Marry dan memilih diam untuk menikmati pestanya.
...........
Setelah acara pernikahan kami selesai, kami diantarkan ke rumah keluarga Ranita. Keluarga Ranita mengarahkan kami di kamar lantai dua dan kami masuk ke kamar yang dituju sambil bergandengan tangan dan juga masih memakai pakaian yang sama saat pesta.
Saat di kamar, kami melepaskan gandengan tangan kami, aku ingin sekali berbicara kepada Ranita tapi lidahku rasanya kaku dan aku bingung mau bicara apa. Ranita hanya memalingkan mukanya tanpa kata-kata apapun.
“Aku ngomong apa nih? Ya Tuhan..,” gumamku dalam hati.
Tak lama, Ranita yang memulai berbicara terlebih dahulu.
“Aku atau kamu dulu yang ganti baju?” tanya Ranita.
“A-aku dulu boleh?” mintaku pada Ranita.
“Oke. Aku tunggu di luar,” ucap Ranita sambil berlalu pergi menunggu di luar.
Aku mengubah ekspresi wajah dan perasaanku saat aku melihat tatapan Ranita kepadaku tadi. Aku seperti membuat Ranita menyesal hari ini, aku jadi lesu saat mengganti baju dengan baju biasa. Aku mendatangi Ranita tapi saat mau membuka pintu, aku mendengar Ranita sesenggukan seperti sedang menangis. Aku yang ingin membuka pintu berubah pikiran dan tidak jadi membukanya. Aku duduk di balik pintu sambil menundukkan diri dengan perasaan yang sedih dan meyesal terhadap tangisan Ranita.
“Maaf Ranita, aku yang salah karena aku menerimanya. Aku yang akan tanggung jawab sama pernikahan ini,” kataku sedih dan hampir saja air mataku keluar.
Ranita yang sedang menangis menghapus air matanya, Ranita memperbaiki dirinya dan berhenti menangis. Ranita mencoba menguatkan dirinya dan kembali ke kamarnya. Saat Ranita membuka pintu, pintunya seperti diganjal sesuatu yang membuat Ranita mendorong keras. Lalu aku yang sedang menundukkan diri di balik pintu tersadar dan berdiri lalu Ranita masuk ke kamar. Tiba-tiba aku memeluk Ranita sehingga membuat Ranita kaget dengan sikapku.
“Aku minta maaf, aku minta maaf,” sesalku pada Ranita sambil menangis.
Ranita tidak berkata apapun dan tetap berada di pelukanku tanpa membalasnya.
“Aku janji padamu.. aku akan membahagiakanmu dengan cara apapun. Aku tidak akan mengecewakanmu dan aku janji akan membuatmu bahagia.”
Ranita membalas pelukanku sembari meminta maaf kepadaku juga.