Vander Hanz, selarik nama yang kusandang sejak tiga puluh tahun silam. Sebuah nama yang menjadi saksi atas pahit manisnya hidup. Aku adalah ahli waris tunggal di keluarga Hanz.
Kendati orang tuaku sudah pergi, tetapi bisnis yang mereka tinggalkan masih berkembang pesat. Tak sia-sia aku belajar tekun di masa lalu, buah manisnya dapat kunikmati di masa kini. Sebagai pemilik perusahan yang cukup ternama, banyak sekali yang menyegani. Entah segan dalam arti yang sebenarnya, atau sekadar menjilat agar perusahaannya dapat berlindung di bawah naunganku.
Dalam pandangan orang, hidupku sangat sempurna. Wajah rupawan, bergelimang harta, dan memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Namun, mereka tak paham dengan sisi kelam yang menyelimutiku sejak dini. Sebuah hal yang akhirnya membawaku pada jalan yang salah, jalan yang sangat jauh dari ajaran Tuhan.
"Ahhh!" desahku dengan kasar.
Lelah rasanya mengingat masa lalu yang menyakitkan, tetapi tak sanggup pula untuk melupakan. Entahlah! Habis sudah usaha untuk menepisnya, tetapi bayangan silam senantiasa memenuhi pikiran. Memasung dalam pilu dan menjebak dalam kebencian.
"Kak Vander, nanti antarin aku ya. Ada kelas pagi, akan terlambat kalau naik angkot," kata suara manja yang baru saja keluar dari kamar mandi.
Aku menoleh ke arahnya, menatap lekuk tubuh yang dibalut celana jeans dan kemeja putih. Dia adalah Ayla Cassandra, mahasiswi jurusan Akuntansi. Sebenarnya otaknya sangat cerdas, tetapi sayang, dia rela menukar harga diri dengan setumpuk uang.
"Kak, kok malah ngelamun sih?" Ayla duduk di sebelahku sambil merangkul pinggang.
Aku tersenyum, lantas menilik wajah manisnya. Hidung mancung, pipi berlesung, serta bibir mungil nan ranum. Rambutnya lurus sebahu dan memakai poni depan yang tebal. Kulitnya putih dan mulus, sangat serasi dengan postur tubuh yang menyerupai model papan atas. Gambaran yang cantik, bahkan ada beberapa yang menyebutnya mirip artis Korea. Namun, hatiku tak terketuk sedikit pun, sekadar senang bermain-main dengan fisiknya.
"Aku tidak bisa mengantarmu, Ay, ada urusan yang harus kuselesaikan. Naik taksi saja, ya, nanti biar aku yang bayar." Aku berucap sembari mencubit hidungnya.
"Oke deh, tapi ...." Ayla menggantungkan kalimatnya sambil menunduk.
Aku tersenyum miring, paham benar dengan apa yang dia inginkan. Lantas, kulepaskan rangkulannya dan kuambil dompet yang ada di saku celana. Kuambil delapan lembar uang ratusan ribu, lalu kuberikan padanya.
"Hanya ini uang tunai yang ada di dompet. Kalau kurang nanti saja ya, aku transfer ke rekeningmu," ucapku padanya.