"Tumben baru datang, Van?" tegur Reynald—sahabat sekaligus tangan kananku.
Sebelum menjawab, kulirik sekilas jarum jam di tangan, hampir setengah sebelas dan aku baru tiba di kantor.
"Ahh!" Aku membuang napas kasar sembari duduk di kursi. Aku merasa kesal karena cukup banyak waktu yang kubuang demi wanita tadi.
"Kenapa?" tanya Reynald. Mungkin dia menyadari kekesalanku.
"Tidak apa-apa." Aku menggeleng sembari menatap Reynald yang sedang sibuk dengan pekerjaannya.
"Tadi Pak Burhan sudah menghubungi. Katanya, besok akan ke sini dan membawa surat kontraknya," terang Reynald.
"Bagus."
Aku tersenyum lebar, Pak Burhan adalah pebisnis besar dari Ibu Kota dan akan membuka kantor cabang di Kota Surabaya. Bulan lalu aku berhasil memenangkan tendernya, dan mulai besok kami resmi bekerja sama.
"Setelah bekerja sama dengan Pak Burhan, ada banyak peluang melebarkan sayap ke Ibu Kota. Hanzel Group, aku akan membuatmu berkembang pesat hingga menduduki posisi tinggi di negara ini," batinku dengan bangga.
"Nanti malam jadi, kan?" tanya Reynald membuyarkan angan-anganku.
"Mmmm."
"Lusa Digta sudah melepas masa lajang. Malam nanti teman-teman semua berkumpul di sana, masa kita nggak hadir, Van?"
"Tentu saja hadir, tapi ... aku pulang sebentar, Rey. Nanti kamu duluan saja," jawabku tanpa menatapnya.
"Pulang, untuk apa? Bajumu, kan, banyak di sini."