PADMA

Erica Aulia Widiani
Chapter #1

TOPENG KACA DAN KOTA YANG LUPA CARA MEMELUK

Suara gebrakan map di atas meja akrilik itu memecah dengung pendingin ruangan yang sejak pagi terasa terlalu dingin.

“Jadi, kamu mau bilang kalau data klien prioritas kita hilang begitu saja karena human error?”

Suara Pak Adrian tidak tinggi, tapi justru nadanya yang rendah dan penuh penekanan itu membuat nyaliku menciut. Di lantai 27 gedung pencakar langit yang menjulang di jantung kota metropolitan ini, oksigen mendadak terasa tipis.

Aku meremas jemariku sendiri di bawah meja. Ujung kuku jempolku menancap ke kulit telunjuk, menimbulkan rasa sakit fisik yang sengaja kuciptakan sendiri untuk mengalihkan rasa takut.

“Maaf, Pak. Saya—”

“Padma,” potong Pak Adrian dingin. Matanya menatapku tajam dari balik kacamata bingkai tebalnya. “Saya merekrut kamu karena saya pikir lulusan universitas negeri dengan IPK cumlaude punya ketelitian di atas rata-rata. Ternyata ekspektasi saya ketinggian.”

Dada rasanya sesak. Kalimat itu bukan sekadar teguran profesional; itu penghinaan intelektual yang menampar egoku.

Aku melirik ke samping. Vanya berdiri di sana, menunduk dengan pose paling memelas yang pernah kulihat. Wajahnya yang full makeup tampak sendu, seolah dia turut prihatin atas nasibku. Padahal, tiga jam yang lalu, dia yang meminjam akses login-ku dengan alasan laptop-nya sedang update system. Dia yang salah menginput kode di database. Dan dia yang dengan manisnya berkata di awal meeting tadi, “Maaf Pak, sepertinya Padma tadi agak buru-buru pas input data, mungkin karena dia lagi banyak pikiran.”

Sebuah fitnah yang dibungkus rapi dengan nada concern seorang sahabat.

Ingin rasanya aku berteriak. Bukan aku, Pak! Cek log activity-nya! Itu Vanya!

Tapi kemudian egoku sebagai "wanita karir mandiri" menahannya. Jika aku mengadu seperti anak kecil yang berebut mainan, Pak Adrian akan menganggapku tidak profesional. Lebih parah lagi, jika aku dipecat karena drama ini, aku harus pulang ke rumah orang tuaku dengan kepala tertunduk.

Pulang sebagai anak manja yang gagal bertahan di ibukota. Itu mimpi buruk yang lebih menakutkan daripada omelan bos mana pun.

Jadi, aku menelan ludah yang terasa pahit. Menelan harga diriku bulat-bulat.

“Maaf, Pak. Saya akan perbaiki sekarang. Saya janji tidak akan terulang,” ucapku lirih. Suaraku terdengar asing, seperti suara robot yang diprogram untuk patuh.

Pak Adrian mendengus kasar, lalu mengibaskan tangan, mengusir kami keluar dari ruangannya. “Perbaiki. Jangan pulang sebelum beres. Keluar.”

Begitu pintu kaca tertutup, Vanya langsung mengubah ekspresinya. Dia menyentuh lenganku pelan. “Duh, sorry banget ya, Pad. Gue nggak maksud nyudutin lo tadi. Tapi lo tahu kan Pak Adrian kayak gimana kalau lagi bad mood? Lo kan anak baik, pasti ngertiin gue kan?”

Dia tersenyum. Senyum manis yang berbisa.

“Santai aja, Nya,” jawabku datar, menarik tanganku dari sentuhannya sebelum dia menularkan racun lebih banyak. “Gue balik ke meja dulu.”

Aku berjalan menuju kubikelku, duduk menatap layar monitor yang berkedip. Padma Larasati, 24 tahun. Hobi: menjadi kambing hitam profesional demi mempertahankan gengsi.

Apakah ini yang dinamakan kehidupan dewasa yang dulu sangat kuimpikan saat masih tinggal nyaman di rumah orang tua?

Pukul delapan malam, aku baru bisa keluar dari "penjara" berpendingin sentral itu.

Kota ini menyambutku dengan cara khasnya: gerimis yang membuat trotoar becek dan udara lembap yang berbau asap knalpot. Lampu-lampu gedung tinggi berpendar angkuh di atas sana.

Sebenarnya, aku bisa saja memesan taksi online. Saldo di rekeningku cukup, apalagi Ibu baru saja mentransfer uang jajan tambahan kemarin lusa—yang sebenarnya tidak kuminta. Tapi entah kenapa, aku memilih memaksakan diri masuk ke dalam gerbong kereta yang sudah penuh sesak.

Mungkin karena aku ingin menghukum diriku sendiri. Atau mungkin, di tengah himpitan tubuh orang-orang asing yang lelah ini, aku merasa valid. Aku merasa sedang berjuang seperti orang dewasa sungguhan, bukan sekadar putri kecil Ayah yang sedang bermain peran kerja-kerjaan.

Lihat selengkapnya