BAB 1 : Tentang Pagi Hari dan Kenyataan
Satu hal tentang Andrea, gadis itu benci Pagi Hari. Sama halnya Pagi Hari juga membenci Andrea. Atau begitulah yang Andrea pikir. Alasannya begini :
Orang-orang selalu beranggapan bahwa semua kejadian buruk haruslah terjadi pada malam hari.
Kalau Anda tidak percaya, jelas Andrea biasanya meski tidak seorang pun bertanya, coba kita ambil hantu sebagai contohnya. Kenapa hantu selalu memilih untuk muncul pada malam hari? Atau setidaknya dari cerita kawan-kawannya ataupun segala macam film horror yang pernah Andrea tonton. Kenapa mereka tidak pernah nongol saat fajar? Saat bocah-bocah sedang bersiap-siap berangkat sekolah? Kenapa mereka tidak pernnah terlihat kalau matahari sedang di puncak ubun-ubun? Padahal, menurut Andrea lagi, tak ada bedanya juga kapan pun mereka mau muncul.
Bayangkan saja pada suatu pagi yang terik, burung berkicauan, dan tukang sate sibuk meracik bumbu kacangnya, jelas Andrea lagi dan tentu tanpa ditanya lagi. Andrea akan sama takutnya apabila Suzanna tiba-tiba muncul minta dibuatkan dua ratus tusuk sate ketika keluarganya sedang sibuk sarapan! Intinya adalah, bagi Andrea, Pagi Hari juga memiliki potensial yang sama sebagai sarana untuk bertindak kurang ajar. Tetapi, kenapa hanya Malam Hari saja yang kena salahnya!
Ambil lagi pengalaman Andrea pada pagi itu sebagai contoh. Pagi itu, Andrea sedang berdiri santai seraya menarik nafas panjang, berusaha menghirup sebanyak mungkin aroma rerumputan dan bunga tulip yang sedang bermekaran. Seberkas aroma hujan yang sudah bercampur dengan tanah, sigap dan keras kepala, ikut mengalir bersama diam-diam.
Di sekitar Andrea, hamparan padang rumput membentang luas tiada akhirnya dengan warna-warni tulip yang bersembunyi malu di antara rumput-rumput tersebut. Beberapa kali Andrea menangkap sepasang telinga panjang melompat-lompat gesit dari tulip satu ke tulip berikutnya sebelum akhirnya hilang entah ke mana perginya. Dan terakhir yang tentu mau tidak mau Andrea hiraukan keberadaannya, berdiri Adrian dengan tatapan liciknya di hadapan Andrea.
Andrea tidak perlu bertanya. Ia tahu persis dirinya punya bisnis tak terselesaikan dengan bocah di hadapannya tersebut. Adrian langsung menyunggingkan seringainya begitu menerima tatapan sengit yang diberikan Andrea. Adrian juga mengerti apa yang gadis itu pikirkan begitu mata mereka bertemu. Maka, tanpa aba-aba, keduanya tiba-tiba menepukkan tangannya masing-masing ke depan.
“Donal bebek mundur tiga langkah!” Seru keduanya. Satu, dua, tiga! Kedua bocah tengil itu melompat ke belakang, ke arah yang berlawanan satu sama lain.
“Siap?” Tanya Adrian yang disambut dengan anggukan spontan Andrea.
Adrian dan Andrea mengangkat tangan masing-masing dan bersama-sama mengayunkannya ke depan, mengeluarkan jurus mereka.
Tangan kanan Adrian membentuk sebuah simbol gunting dengan jari telunjuk dan jari tengahnya sementara Andrea sendiri mengulurkan kelingkingnya percaya diri. Melihat hal tersebut Adrian memutar kedua bola matanya seraya mendecak sebal.
“Ckckck... Berapa kali mesti aku kasih tahu, sih. Kita cuman boleh pakai gunting, batu, kertas!” Tegur Adrian.
“Tapi barusan tidak kamu beri tahu, ‘kan, ya?” Balas Andrea menyengir suka-suka.
“Ya, memangnya kamu pikir masih ada yang pakai suit macam, ‘tu?” Ujar Adrian tidak sabar.
Mendengar hal tersebut dahinya langsung berkerut. Andrea pun mengangkat kelingkingnya tepat ke depan batang hidung Adrian, “Ini buktinya aku masih pakai.” Jawabnya malah makin menjadi. “Ini namanya suit Jawa. Orang, gajah, semut! Cintai produk lokal bisa tidak?”
“Bodo amat, lah!” Adrian menggelengkan kepalanya tidak peduli sama sekali dengan satu pun omong kosong yang dikeluarkan Andrea. “Yang jelas semut itu kalah dengan gunting. Giliranku yang serang.” Dan tanpa menunggu jawaban dari Andrea, Adrian langsung mengambil kuda-kuda untuk menyerang Andrea.
Tanpa pikir panjang soal strategi, Adrian terburu melompat ke depan mengincar kaki kiri Andrea. Andrea yang belum siap dengan serangan tersebut dengan gugup melompat asal untuk menghindar dan malah terpeleset oleh kakinya sendiri. Tubuh mungil Andrea seketika terjungkal ke belakang, ditarik oleh gravitasi.
Membayangkan tubuh kecilnya berciuman dengan kerikil dan rerumputan, jantung Andrea otomatis berdegup sengit sambil memejam kedua matanya, siap-siap mengaduh pilu agar Adrian kena paniknya. Namun entah bagaimana, rasanya tak juga tubuhnya bertemu bibir dengan bumi. Malahan rasanya dia terombang-ambing terlalu lama, tidak kunjung juga mendarat. Rerumputan tidak kunjung juga menangkap tubuh mungilnya. Ia hanya terus melayang dan terjatuh. Dan terjatuh. Dan terjatuh. Dan sadarlah akhirnya Andrea.
Bahwa semuanya sudah hilang.
Segala hal yang mengitarinya sebelumnya kini sudah luput dari pandangan Andrea. Bahwa di sekeliling Andrea kini hanya ada kekosongan. Kosong. Melompong. Dan tidak ada satupun hal yang dapat menahan tubuh Andrea yang sejak tadi masih melayang-layang jatuh. Bahwa sepenuhnya kini telah tergantikan. Tergantikan oleh tidak ada. Tidak ada padang rumput. Tidak ada bunga tulip bermekaran. Tidak ada sepasang telinga panjang yang melompat-lompat.