Udara terasa hangat dan pengap. Tentu saja terasa seperti itu mengingat dirinya hanya bisa melihat dinding kenyal berwarna merah muda yang terus berkontraksi dan mengeluarkan cairan hijau. Mendongak ke atas, sama saja, tempat itu terasa seperti kubah raksasa seluas 25 meter.
Tepat di atas kepala Ali, sebuah lubang besar dengan radius 1 meter menutup dan terbuka tiap beberapa detik berselang.
Mungkin keadaan bisa dikatakan beruntung karena ia tidak kehilangan satu pun anggota tubuh dan kini duduk di atas puing bangunan yang mencegahnya tenggelam dalam danau cairan asam yang berwarna hijau terang.
"Cepat atau lambat, cairan lambung ini akan mengikis semua termasuk pijakanku." Ali bermonolog sambil sedikit terkekeh.
Ini tidak lucu, tidak ada satu pun hal yang lucu, tapi dia tertawa karena dia sadar ajalnya sudah di depan mata dan tidak ada satu pun hal yang bisa ia lakukan. Sepertinya rasa putus asa telah menggerogoti kewarasannya dan kini ia hanya tertawa sambil memperhatikan langit-langit lambung placula.
Asam lambung semakin mengikis tempat berpijak Ali dan pria ini hanya sibuk dengan pikirannya sendiri.
Ia melihat asam lambung yang semakin mendekat dan jantungnya tiba-tiba memacu cepat. Ali sudah menerima nasibnya tapi kenapa adrenalin malah muncul di saat seperti ini?
Napasnya berat dan ia ingin mencoba sesuatu. Pria ini mencelupkan salah satu jarinya ke cairan asam lambung dan permukaan kulitnya perlahan terkikis, ia segera menarik tangannya dan kini tangannya meregenerasi sendiri.
Jantungnya semakin berdetak cepat. "Apa aku sungguh bisa melakukannya?" Ia melihat ke arah dinding lambung terdekat yang berjarak hanya 6 meter saja.
Apa aku harus menerima kematianku? Kemungkinannya ada di depan. Apa aku harus pasrah sekarang? Atau aku harus melawan takdirku?
Ali memegang dadanya yang sesak. Selama hidupnya, ia hanya mengikuti prosedur yang ada dan menjadi masyarakat yang patuh dan baik. Bahkan di dunia yang kacau dengan kekuatan super dan monster, ia selalu menjadi karakter figuran yang jauh dari bahaya. Namun hari ini, ia berhasil melawan satu placula, masih selamat setelah tertelan dan masih melihat kemungkinan hidup bahkan di saat jalan buntu terpampang jelas.
Tidak, aku tidak ingin mati. Aku belum ingin mati. Aku bisa melawan placula kecil itu, apa lagi yang kutakutkan sekarang?
Begitulah pikir Ali mengumpulkan keberanian.
Ali mengambil pipa besi sepanjang satu meter yang berujung runcing dan langsung menceburkan diri ke cairan asam.
Seluruh pakaiannya perlahan terkikis dan begitu pula kulitnya. Matanya membelalak dan rasanya sangat menusuk, seakan teriris puluhan silet bersamaan.
Tubuhnya dalam keadaan konstan terkikis dan teregenerasi, ia tidak langsung mati tapi rasa sakitnya menjalar hingga ke atas kepalanya.
Jantungnya masih berdebar, napasnya tidak karuan, tubuhnya tersiksa, tapi ia tidak mati. Ia tidak mati.
Hanya itu yang perlu ia ketahui.