Kedatangan kami berlima saat itu merupakan sebuah awalan dari beberapa banyak perjuangan. Demi melanjutkan tujuan hidup, serta memutuskan untuk kembali pulang dan menetap adalah kesepakatan yang sudah matang. Tidak menjamin harus bagaimananya saja, tetapi juga memastikan bahwa setelahnya keadaan akan lebih baik-baik saja.
Aku yang masih tidak tahu tentang banyak hal, hanya tawa 'hihi haha' saja yang menghias khayal. Ya, mungkin saat kuturunkan kaki menyentuh pelataran rumah yang masih tak terbangun rapi. Aku menyadari bahwa kami telah berpindah tempat dan akan menetap lama di sini. Tatapku—menyapu pemandangan yang ada di depan truck, sembari memandang sebuah bangunan yang akan tersusun dua lantai, katanya. Remang-remang redup cahaya menyorot ke arah kami, suatu penyambutan yang istimewa untuk beradaptasi di tempat yang kemudian kami berlima sebut sebagai rumah.
Perjalanan malam itu cukup samar-samar haru. Tepat di mana kami berlima kembali menuju kampung halaman. Membawa beberapa barang yang menurut kami masih memiliki fungsi dan akan membantu kami dalam beraktivitas di setiap hari. Usiaku saat itu masih seperdua puluh abad, yang baru saja mulai belajar mengingat serta mengenal terhadap lingkungan sekitar.
Tidak lama setelah semua barang diturunkan oleh seorang pria yang berusia 40 tahun, yang dibantu oleh kedua lelaki berumur 14 dan 10 tahun untuk dimasukkan ke dalam bangunan setengah jadi. Aku pun menatap lengah dan meminta kepada seorang wanita yang berkedudukan di usia 37 tahun untuk menemani sisa sadarku sebelum kemudian aku tertidur pulas.