2005
Aku sedikit bosan berada di rumah, ingin saja untuk ikut pergi ke tempat kerja ayah. Melihat keadaan di sana, apakah sama juga dengan tempat kerja ayah yang lama—atau malah lebih nyaman di tempat kerja yang baru.
Aku berbisik kepada ayah yang sedang memoles sepatu agar terlihat lebih bersih dan rapi. "Ayah, Noni pengin ikut ke tempat kerja ayah."
Ayah terkejut dan melamunkan diri sejenak untuk menimbang ucapanku, "Hmm, boleh."
"Asyik! Terima kasih Ayah," ucapku sembari mengambil jaket jeans berwarna biru dan mengenakannya agar saat berkendara nanti tidak terkena angin—yang membuat kulit tubuhku menggigil.
Setiap pagi, ayah selalu mengantar kedua kakakku ke SMP dan SD lalu kemudian berangkat menuju kantor. Mengapa? Karena tempat kerja ayah lumayan dekat dengan tempat sekolah kakak-kakakku.
Jalanan kota di hari Senin memang sedikit padat, meski bukan kota besar yang aku tempati. Tetap saja laju motor ayah tidak bisa sampai 40 km/jam. Paling tinggi di angka 20 km/jam saja, itupun masih belum terhenti ketika ada kereta yang lewat.
Aku duduk di depan sendiri, seakan memandu jalan yang aslinya aku sendiri tak tahu harus berbelok ke kanan atau ke kiri. Untung saja, sekolah kakakku bersebelahan dan hanya cukup menyeberang untuk sampai di tujuan. Lokasi yang strategis dan mudah dijangkau bagi penumpang angkot ataupun bus.
Setelah ayah mengantar kedua kakakku, kami berdua pun menuju ke kantor tempat kerja ayah. Menempuh waktu sekitar 10 menit, karena melewati jalan pintas. Ayahku sangat gampang untuk menemukan jalan pintas di dalam kota. Mungkin karena ayah sering berpergian keluar atau di dalam kota, hingga jalan pintas pun mudah untuk diingatnya.
Ayah memarkir motor dan menyuruhku diam di parkiran. Kebetulan, di sebelah parkiran mobil dapat kulihat sebuah Taman Kanak-kanak. Segera kudekatkan tubuhku menempel di pagar dan mengamati suasana anak-anak yang mungkin seumur denganku—mengenakan seragam hijau tosca berbaris rapi dan menyanyikan sebuah lagu.
"Ayo baris teman-teman, ayo baris."
Serempak nyanyian itu membuatku ingin segera bergabung di dalam barisan. Tetapi, aku saat itu belum sekolah. Apa bisa yang bukan seorang anak didik bisa ikut di barisan itu? Aku hanya bisa memandang kegiatan yang dilakukan.
Setelah baris, mereka pun masuk ke dalam ruangan secara berpisah. Ruangan seperti apa di dalamnya? Apakah terdapat kasur dan televisi? Atau mungkin mainan dan barbie? Hmm, membuatku penasaran.
Ayah segera menghampiriku dan membawaku untuk masuk ke dalam sebuah mobil. Dan menyuruhku duduk di sebelahnya—tercium aroma kopi yang membuatku semakin menikmati suasana di dalamnya.
"Ayah, habis ini kita mau ke mana?" tanyaku pada Ayah yang sedang menunggu mesin mobil sedikit panas hingga siap untuk digunakan.
"Hari ini kita jalan-jalan, mau, kan?" sahutnya dengan nada lembut.
"Yeay! Jalan-jalan dan lihat pemandangan di kota," ucapku dengan riang.
"Ayah, sepertinya berada di sana sangat menyenangkan," ujarku sembari menunjuk ke arah Taman Kanak-kanak.
Ayah menengok ke arah kanan, lalu kemudian kembali menatap ke arah depan. "Adek mau sekolah?" tanya ayah kepadaku.