Paintease

Delima Ami
Chapter #7

Permen Karet si Noni

5 bulan sudah aku menjadi anak didik di taman kanak-kanak. Aku mulai berkenalan dan mengenal lekat semua teman kelasku. Aku pun sudah memiliki seragam sendiri. Hari ini aku memakai seragam tosca dengan rambutku yang sengaja terurai lurus sampai di punggung belakang.

Aku sudah bersiap untuk berbaris di halaman sekolah, tetapi sesungguhnya aku sedang menunggu kedatangan seseorang. Tak biasanya dia datang terlambat, apa mungkin dia sudah mengambil tempat di barisan?

Sorot mataku menyapu bersih benda-benda yang ada di tatapan. Tetap saja tak kulihat dia dibarisan itu. Kemudian, ada seseorang yang mencolek bahuku tanpa bersuara.

“Ssiapa?” ucapku sedikit risih.

 Seorang anak laki-laki yang membantuku bermain di mangkuk berputar dahulu. Iya, Dino Pahlevi.

 “Dino! Bikin kaget aja sih,” ucapku sedikit malu karena sudah membentaknya.

 “Kaget ya Noni? Ayo baris,” ajaknya sembari menarik tangan kananku untuk masuk ke dalam barisan.

 Aku berbaris di samping kanan Dino. Seperti biasa, ada Vita dan Rara yang tak terlalu akrab denganku, pun kini tengah asyik berbicara kepadaku.

  “Noni, kamu sama Dino pacaran ya?” tanya Vita dengan raut wajah penasaran.

  “Iya kan?! Ayo ngaku kamu,” sahut Rara yang berada di belakangku.

 Aku berpikir sejenak, melirik ke arah di mana awan-awan mulai menampakkan pesonanya. Seperti mencari jawaban di langit biru, aku bertanya-tanya mengenai maksud dari ucapan Vita yang tak aku pahami.

 Apa itu pacaran? Kok aku enggak tahu yang begitu ya. Kenapa kak Aba dan kak Ari tidak mengajariku tentang itu. Kan aku jadi malu sendiri karena enggak tahu istilah yang telah diucap oleh teman kelasku.

 “Ih kok malah lihat ke langit sih. Kamu enggak lagi cari pesawat terbang, kan Noni? Hahaha,” ledek Rara membuyarkan lamunanku.

“Emm, iitu ….” Aku berusaha menjawab—masih mencoba untuk mencari tahu dengan melirik ke arah Dino.

 “Itu apa? Iya, itu Dino. Kamu pacaran kan sama dia?” desak Vita semakin tidak sabar ingin mencubit kedua pipiku.

Aku berusaha melindungi kedua pipi yang sering disebut kue apam mekar oleh kedua kakakku. “Jangan cubit pipi aku,” ucapku sedikit berteriak.

  Dino tak sengaja mendengar teriakanku langsung mencolek bahuku.

  “Kamu kenapa Noni? Siapa yang cubit pipi kamu?” tanyanya dengan sedikit khawatir.

“Eh enggak Dino. Udah lihat depan sana,” ucapku menyuruhnya untuk kembali fokus ke arah depan.

Lihat selengkapnya