Paintease

Delima Ami
Chapter #9

Crayon on the Rectangle Paper

 Bulan telah berganti nama, sedari Mei disambut Juni dan berakhir di Juli. Hari ini hari Jumat. Aku sudah siap berangkat bersama kedua kakakku dan ayah. Seperti biasa, ibu menyiapkan sarapan untuk kami. Kali ini, ibu memasak soto ayam—merupakan menu yang paling disukai oleh kak Ari.

 Kak Aba dan kak Ari pun segera mengisi perut-perutnya dengan lahap. Sedangkan aku, masih harus menunggu ayah selesai membersihkan sepatu hitamnya. Ibu yang semula berada di seberang depan, kini mendekatiku dan memberi suapan makanan agar aku tidak perlu menunggu ayah lama-lama.

 “Berdoa dulu Nak,” titah ibu sembari menuang kuah soto ke mangkuk berwarna putih.

 Aku bergegas untuk berdoa sesuai kemampuanku, “Aamiin ….”

 “Aaak,” ucap ibu memberikan aba.

“Aaakkk,” sahutku dengan membuka kedua bibir agar suapan ibu dapat masuk ke dalam mulutku.

 Lima suapan telah kukunyah. Tiba-tiba aku teringat dengan praktik mencocok di hari Rabu. Sepasang mataku erat memandang garpu yang digenggam kak Ari di sebelah tangan kirinya. Aku membayangkan garpu itu tusuk-menusuk potongan ayam kemudian membuat ayam-ayam tersebut melekat pada ruas-ruas garpu.

 “Ibu,” ujarku mengisi keheningan.

 “Iya, Nak.”

“Apakah ada garpu yang hanya memiliki satu ruas saja?” tanyaku sembari menunjuk garpu yang berada di genggaman kak Ari.

 Ibu tersenyum dan disusul mantap oleh tawa renyah kak Aba dan kak Ari. Sepertinya aku salah bertanya. Atau memang pasti jawabannya tidak ada. Kenapa kedua kakakku tertawa geli?

 “Noni sayang, kamu sedang memikirkan apa? Hahaha,” sahut kak Aba.

“Aku sedang membayangkan garpu itu hanya ada satu ruas,” jawabku dengan polosnya, “Apakah ada kak?”

“Hmmm, emang Noni mau buat apa? Kok tanya garpu yang satu ruas,” imbuhnya melontarkan pertanyaan, sedangkan pertanyaanku belum juga dijawab olehnya.

  “Ada deh! Aku kan nanya ke ibu. Kenapa Kak Aba dan Kak Ari merespons dengan tawa?” ledekku tak terima karena sudah ditertawakan.

  “Noni, kalau kamu maunya yang satu ruas. Ya udah mending cari tusuk sate aja. Hohoho,” sahut kak Ari yang sudah selesai dari sarapannya.

  “Ih, kan Noni tanya. Hmmm. Malah disuruh pakai tusuk sate. Ya malah tusuk satenya yang patah,” timpalku menampik ledekan kak Ari.

  “Hahahahaa ….” Gelak tawa terenyah di hari ini yang tersaji oleh kak Aba dan kak Ari.

  Aku kembali mengunyah makanan dari suapan ibu. Aku selalu suka ketika berada disuap yang terakhir. Rasanya seperti telah menuntaskan misi dalam memberantas kelaparan. Hahaha. Meskipun lebih duluan kak Aba dan kak Ari. Tapi aku tetap menang, karena tidak menyisakan nasi di piring makananku. Kata ibu, jika nasi yang ada di piring makan belum juga habis dan sengaja tak dihabiskan, nasinya akan menjerit dan menangis. Sangat kasihan sekali ya?

  “Ibu, ayah kok belum sarapan?” tanyaku kepada ibu yang sudah membungkuskan satu porsi nasi dan soto ayam.

  “Ayah berangkat lebih cepat nak. Noni segera pakai sepatu ya. Biar nanti di jalan tidak terlalu ngebut kejar waktu,” ujar ibu menjelaskan.

  “Baik Ibu.”

 Aku meraih tas yang berada di sampingku dan menggantungkannya di kedua bahuku. Kak Aba dan kak Ari sudah menunggu di luar. Aku berpamitan pada ibu dan segera menyusul mereka berdua di pelataran rumah.

“Kak Ari, Noni masih pengen punya garpu yang hanya ada satu ruas,” ungkapku pada kak Ari.

  “Lalu?” tanyanya dengan datar.

  “Yaa pokoknya aku pengin punya itu. Ya, ya, ya,” desakku sembari meraih kedua tangannya seperti sedang merayu.

  “Hmmm, ya udah nanti kakak carikan tusuk sate aja,” timpalnya dengan nada yang sangat datar.

  “Ihh Kak Ari. Kan aku penginnya garpu. Bukan TUSUK SATE! Hwaaa ….” Aku berteriak sedikit histeris.

   “Hahaha … kok bisa nangis sih Ar,” ujar kak Aba yang kemudian mengelus kepalaku.

 Aku bergaya seperti sedang menangis supaya kak Ari menuruti permintaanku. Agak berlebihan memang—tapi aku tetap pengin punya garpu satu ruas aja. Bukan malah tusuk sate.

Lihat selengkapnya