Pukul 2 siang, tepatnya aku, ayah, dan kak Ari sedang menunggu kak Aba keluar dari gerbang sekolahnya. Terik matahari begitu menyengat, aku yang sedari tadi sibuk meneguk ludah pun tak tahan dengan keringnya tenggorokan.
Tak hanya aku saja, ternyata kedua laki-laki dihadapanku juga saat ini melakukan hal yang sama denganku. Aku mengamati sekitar, seperti memilah minuman yang dijual oleh pedagang kaki lima.
Hmmm, sama sekali tidak ada yang cocok. Lantas aku menghadap ke arah kak Ari, meluapkan keluh dengan mengernyitkan dahi.
"Aku haus dan pengin minum," keluhku pada kakak lelakiku yang masih memakai seragam putih merah.
"Es sari kedelai yuk!" tawarnya memilih.
"Enggak mau," tangkisku seketika.
"Es degan deh!" tawarnya lagi.
"Enggak ah," kali ini aku menampik.
"Es ... Es buah kalau gitu."
"Enggak yang itu," responsku cepat tetapi raut muka sengaja kutampakkan datar.
"Es ... Degan lebih enak nih, dah jangan jawab dengan kata enggak lagi," timpal kak Ari.
"Tttt—tapi Kak."
"Tapi apa? Katanya tadi haus?" tanya kak Ari memastikan.
Kak Ari pun menghampiri penjual es degan. Aku masih berharap ada es yang kucari-cari. Sembari mengikuti langkah kak Ari, aku menengok kanan kiri—mengitarkan pandang ke seluruh sudut tepian alun-alun.
"Ah, tak kunjung datang."
"Apanya dik?" tanya kak Ari menanggapi ucapku.