Paintease

Delima Ami
Chapter #16

Minyak di atas Perairan

17 Agustus 2006.

Hari ini tidak ada karnaval seperti tahun sebelumnya. Taman Kanak-kanak Tjandra Kirana menyelenggarakan berbagai macam lomba. Di antaranya: balap karung, estafet tongkat, bakiak jemaah, paku botol, pecah balon, makan kerupuk, impit balon, lari jarak pendek, dan estafet air.

Mungkin akan meriah, hanya ada dua lomba yang aku pilih. Impit balon dan juga lari jarak pendek. Hahaha. Aku lebih suka kedua lomba itu. Hitung-hitung olahraga sambil berlari dan juga latih keseimbangan dan konsentrasi dengan memilih impit balon.

Dino memilih estafet tongkat dan balap karung. Aku meragukan keahliannya dalam lari sambil melompat. Hohoho. Tapi bisa jadi keraguanku akan jadi sebuah pantangan baginya untuk bisa mematahkan rasa pesimis dariku. Tenang saja, Dino tidak terlalu mengambil hati. Kami sudah saling berkomentar seperti itu, bahkan daripada komentarku. Komentarnya pun kurasa lebih pedas dari sambal buatan ibu yang selalu ada di menu sarapan pagi keluarga.

"Udah siap enggak tuh?" tanyaku meledeknya.

"Tentu siap dong. Lihat ya! Aku akan menang," jawabnya menantang.

"Oke! Kalau enggak terus gimana? Hahaha."

"Kalau enggak ya, ya udah. Hahaha."

"Huhuhu. Harus kalah ya!"

"Kamu juga, jangan menang!"

Hahaha, di antara kami memang saling bersahabat. Tetapi kalau sudah berbicara tentang kompetisi, entah itu berbeda ataupun satu lini. Akan tetap saling mendukung dengan cara menjatuhkan. Tidak apa-apa, melatih mental itu harus sejak dini. Supaya di esok hari, kuat menghadapi. Kami berdua berpisah sejenak untuk menunaikan ibadah lomba hari ini. Nanti kalau sudah selesai akan bertemu lagi. Aku menuju lomba pertamaku, yaitu lari jarak pendek. Katanya jarak pendek, tapi kok menurutku ini jauh. Huhuhu. Langkahku bisa saja kecil, mungkin kalau dibuat lomba lari bisa jadi besar gitu. Kali aja ada keajaiban.

Namaku terpanggil di ronde keempat. Kebetulan sekali, lawanku ada Vita, Rara, dan Vio. Wow! Aku berada di urutan ketiga setelah Vita yang pertama dan sesudahku adalah Rara. Bapak guru olahragaku memberikan aba-aba dan juga peluit sebagai penanda untuk lari mencapai garis finish.

"Satu,"

"Dua,"

"Tiga.!"

Priiitttttt …

Aku bergegas lari dengan satu, dua, hingga tiga jangka. Ternyata langkah kaki Vita dan Rara tak begitu besar dariku. Aman, masih bisa mendahuluinya—dan lawan terberatku adalah Vio. Aku harus bisa lebih dulu darinya. Aku mengeluarkan seluruh tenaga, berusaha meringankan badan agar terbawa arah angin sebagai pembantuku mencapai garis finish. Beberapa jangka aku raih, lima sampai tujuh jangka lari lebih cepat dari Vio. Aku pun berhasil mendahuluinya. Napasku sudah mulai menipis. Aku semakin melaju seperti layang-layang yang selalu dimainkan oleh kak Aba. Aku harus bisa. Dikit lagi! Vio hampir mendekatiku. Hanya Vio saja yang bisa kudengar jangka kakinya. Vita dan Rara tertinggal jauh. Aku semakin meniru gaya larinya seekor macan. Uwau! Uwau!

Sekitar sepuluh jangka lagi aku akan menginjak garis finish. Aku berusaha mengatur napas dan meringankan kaki agar tak bertumpu terlalu kuat. Baik Noni, habis ini.

Lima, empat, tiga, dua, satu.

Priiiitttt ...

Wah! Rupanya aku berhasil mengalahkan Vita, Rara, dan Vio. Yeay! Menang.

"Wow, Noni. Kamu hebat sekali," ucap Vio memujiku.

"Hehehe, terima kasih. kamu juga hebat Vio," sahutku membalas pujiannya.

Disusul oleh Vita dan Rara yang masih engah-engah dengan napasnya. Aku mengucapkan semangat kepadanya.

"Semangat Vita dan Rara. Kalian juga hebat!"

"Hah? Apa sih. Sok peduli!" tampik Vita melecehkan perhatianku.

"Iya nih! Sombong amat si Noni ini. Dikira kita kasih pujian? Hahaha," imbuh Rara menyambung ucapan Vita.

"Dih, enggak akan lah!" pungkas Vita melanjutkan ucapan Rara.

"Sudah, sudah. Kalian berdua ini selalu berapi-api aja. Sesekali bagi es batu gitu. Lagian Noni juga hatinya baik. Kok kalian tega banget," sela Vio menengahi kami bertiga.

"Oh. Jadi si Noni udah punya teman nih Ra... jadi enggak perlu pusing untuk jadi teman dia. Hahaha."

Lihat selengkapnya