Tiga hari setelah bertemu dengan kak Yasa. Aku merasa bahwa pertemuan pertama adalah sebuah kebetulan. Tapi tidak disangka, pertemuan kedualah yang menjadi pertimbangan apakah ini masih kebetulan atau sebagai takdir dari Tuhan?
"Noni," sapa seorang laki-laki yang berseragam rapi dengan wajah yang selalu teduh untuk dipandang.
"Hai Kak Yasa." Aku merespons dengan seperlunya.
"Sering ke sini kalau jam istirahat?" tanya dia lagi seakan tetap ingin melanjutkan percakapan di antara kita berdua.
"Iya Kak. Kak Yasa beli apa?"
Waduh! Noni kenapa balik tanya ke dia? Duh bocah gemblung banget aku. Dia pakai senyum-senyum segala rupanya.
"Kakak beli nasi rames nih, Adek Noni mau beli apa?"
Demi apa? Kak Yasa manggil aku kayak gitu. Kalau kata orang jatuh cinta, melting (melebar tingkah) udah menyatu dengan yang namanya salting (salah tingkah).
"Ss ... saya juga nasi rames." Aku menjawab dengan sedikit gugup.
"Buk, tambah nasi ramesnya satu ya," celetuk kak Yasa kepada ibu penjual.
"Oh iya, bumbu pedas apa enggak?" tanya kak Yasa kepadaku.
"Eng ... enggak pedas kak."
"Samain kayak yang sebelumnya ya Buk."
Aku tersipu malu dan sibuk membatin sendirian.
Ternyata tidak hanya kak Ari saja yang selalu peka terhadapku. Ya! Saat ini seorang laki-laki yang baru saja kukenal tempo hari pun seakan sudah seperti aku mengenalnya dalam waktu yang lama.
"By the way, kamu sendirian aja nih?" tanya kak Yasa.
"Sama teman Kak. Kak Yasa sendiri gimana?"
"Aku sendirian aja ...."
Tiba-tiba saja kak Yasa berubah menjadi diam, maksudku dia memasang raut wajah datar tanpa mengajakku bicara lagi. Hah? Ajak bicara buat apa? Kan kalian berdua adalah dua orang yang asing.
Nasi rames pun sudah tersaji dengan aroma yang sangat menggoda. Kami membayar masing-masing dan sesegera mungkin aku mendahului kak Yasa untuk pergi.
"Kak Yasa, Noni duluan ya." Aku berjalan mendahului tetapi ada tangan yang menahanku.
Wow! Lelaki ini sedang memegang lengan kiriku. Jantungku berdebar makin tak karuan. Kak Yasa, why you did like this?
"Kenapa kak?" tanyaku sembari memundurkan diri.
"Boleh kakak minta waktu istirahatmu hari ini untuk menemani kakak makan?"
Sebuah kalimat yang terdengar oleh kedua telingaku—yang semakin membuatku salah tingkah. Aku harus menjawab apa?
"Emmm ... Kak Yasa duduk di mana?" tanyaku memastikan.
"Di sana." Ia menunjuk ke arah sebuah meja yang terletak di arah selatan—sangat dekat dengan mini air mancur kantin.
Kuhitung jarak antara tempat duduk Kana dan Lavi dengan sebuah meja yang masih kosong, hmmm, lumayan dekat ternyata.
"Oke Kak, tapi Noni bilang dulu ya ke teman-teman Noni. Biar mereka enggak nungguin Noni. Kak Yasa langsung ke tempat duduk juga enggak apa-apa. Nanti Noni susul."
"Kakak antar ke teman kamu. Yuk," tawar kak Yasa yang sudah gigih.
Waduh! Apa enggak malu ya kak Yasa jalan sama aku di tengah ramainya kantin ini?
"Ee, seriusan Kak? Kakak enggak malu gitu jalan sama saya?" tanyaku mengungkapkan keraguan yang timbul dalam benakku.
"Santai aja Noni! Ayo, nanti keburu masuk."
Aku berjalan mendahului dan kak Yasa mengikut arah langkahku. Akhirnya langkahku sudah berhenti di meja Kana dan Lavi, tanpa berbasa-basi aku berpamitan kepada mereka berdua.
"Hai, ciwiers ... aku izin enggak join sama kalian dulu ya. I have a business with this boy." Aku berucap tanpa banyak kata.
Aku tahu sekali! Kana dan Lavi sangat terkejut melihat kedatanganku bersama kak Yasa.
"Oh, iya Non. Iya. Ss ... silakan. Have a good time!" Kana dan Lavi menyahut bersamaan.
Aku dan kak Yasa segera pergi dan menuju ke sebuah tempat duduk pilihan kak Yasa. Hanya kami berdua yang mengisi. Ini kali pertama aku memiliki dan mengisi waktu bersama seorang lelaki ketika sudah menjadi siswi SMA.
Aku masih diam tak bergerak, apakah aku yang memecahkan sunyi di antara kami berdua. Sepertinya kak Yasa emang pendiam, aku saja yang terlalu ramai memikirkan sebuah percakapan dengannya.
"Ee, dimakan dulu Dek Noni." Kak Yasa akhirnya bersuara sementara aku hanya mengangguk atas saran darinya.
"Kak Yasa, rasanya tidak enak kalau hanya menikmati makanan masing-masing saja." Aku menawarkan diri untuk mengisi heningnya temu.
"Oh ya ... setelah makan ya, kita habiskan dulu makanan kita. Baru dilanjut bicara. Hehe, Dek Noni gapapa kan?" sahutnya yang tengah melahap sisa makanan di piring.
Aku mengangguk dan mempercepat makan agar bisa lebih dulu selesai darinya.
"Dek Noni lahap banget makannya, jadi senang kakak lihatnya," celetuk kak Yasa yang sudah selesai dari makan.
Aku pun juga sudah menghabiskan makananku, huhuhu. Rupanya kami berdua sama-sama selesai di menit yang sama.
"Iya Kak, lapar banget saya. Hehe," sahutku membenarkan pernyataannya.