Paintease

Delima Ami
Chapter #29

Annoying Red Flags

"Seriusan Non?" tanya Kana dan Lavi bersamaan.

"Iya, masak aku ngarang cerita sih. Kan aku bukan penulis," jawabku dengan spontan.

"Gemas banget sama kak Yasa. Terus kamu jawab gimana Non?" tanya Kana dengan penasaran.

"Ya aku cuma bilang, terima kasih aja ke dia. Selain itu, aku minta maaf karena gara-gara name tag-ku yang jatuh. Kami berdua jadi saling bertemu, rumit banget enggak sih?" Aku menjelaskan dengan begitu penghayatan.

"Hey! Apa kamu juga enggak merasa nyaman dengannya? He is your type. Isn’t He?" celetuk Lavi yang tidak habis pikir terhadapku.

"Tetapi aku belum siap untuk itu Kana, Lavi. I'm afraid to start that," jelasku mengungkapkan kekhawatiran yang bersemi di hatiku.

"Tapi kenapa tidak kamu ungkapkan? Dan, ya mulai dengan pelan-pelan dengannya. Kalau dia bisa menghargai, dia akan sabar menanti. Ataupun sama-sama saling mengisi dan ya anggap saja seperti belajar mencintai satu sama lain." Kana berujar dengan sangat bijak.

"Nah, apalagi kalau dia udah berani ungkapin keadaan hatinya. Tempatnya di perpustakaan lagi, yang enggak semua orang bisa paham maknanya. Itu berarti dia udah ngerasa klop sama kamu. Apa kamu enggak pernah ngira sebelum-sebelumnya?" sambung Lavi dengan tegas.

Aku pun terdiam. Seakan ada banyak waktu yang tidak terlalu aku pedulikan, di saat bersamanya. Dari perilaku yang tersajikan kepadaku juga ucapan-ucapan yang selalu membuatku salah tingkah. Berarti, dari itu semua dia sudah memancarkan sinyal yang sedang bersemayam dalam hatinya. Hmmm, pemula dalam hal rasa yang takut untuk membiarkan diri terlibat asmara karena jatuh cinta dengan seorang pria.

"Udah, menurutku. Kalian berdua itu cocok kok. Bukannya jodoh itu cerminan diri? Kan kita enggak tahu skenarionya Tuhan yang menakjubkan di dalam kehidupan." imbuh Lavi yang masih belum puas.

"Tetapi aku enggak mau sakit hati, gimana dong?" sahutku yang masih mencari alasan.

"Sakit hati itu wajar. Tergantung masing-masing yang menunaikan." Kana menjawab dengan tegas.

"Udah berapa hari kalian saling diam? I mean, kamu menghindar dari kak Yasa." Lavi mempertanyakan komunikasi di antara aku dengan kak Yasa.

"Sejak tiga hari tepatnya," jawabku sembari memanyunkan bibir.

"Nah tuh, kenapa sampai 3 hari sih?" tanya Kana.

Aku harus bercerita kepada Kana dan Lavi. Tepatnya tentang hatiku yang sesungguhnya. Ya mungkin aku tampak diam dan seperti orang tak punya rasa kasihan. Mereka berdua juga harus bisa menerima dari sisi pemikiranku.

"Ya ini keputusanku," sahutku dengan kesiapan. Lalu kutarik napas dengan kuat, kemudian melepaskannya dengan kelegaan.

"Memang sengaja aku diam. Memilih untuk tidak menceritakan kepada kalian berdua dengan tergesa, karena rasa jika tak bercampur apapun akan tetap murni adanya. Lalu, kenapa harus aku hindari kak Yasa? Ya karena, dia bilang bahwa dia merasa nyaman ketika sering bertemu denganku dan bersama aku. Maka aku ciptakan jarak sebagaimana mestinya, supaya dia bisa merasakan bagaimana adanya. Dari situlah, rasa yang murni akan jadi buktinya." Aku menjelaskan dengan penuh keyakinan.

"Wow!" celetuk Lavi dengan sambutan sebuah tepuk tangan sebanyak lima kali.

"Jadi, kalau ditanya tentang rasa. Aku memang nyaman, tapi bagaimana setelahnya? Apakah rasa nyaman itu tetap ada bila kita terjaga oleh jarak yang tak mampu membuat kami saling bergerak. Aku diam di hari pertama, kedua, hingga ketiga pun tak disapa olehnya. Padahal kami berdua saling simpan kontak. Dan kurasa, setelah jawabanku kemarin. Mungkin dia juga lebih sadar, bahwa tidak semua orang mudah mengatakan sama persis yang diinginkan oleh orang lain. Meskipun rasa itu sama, tergantung manusianya yang memilih untuk menjaga atau malah merusaknya. Apalagi aku dengan dia, masih terbilang baru banget berkenalan. Pasti aja, kalau di antara kita ada banyak persamaan dan dia menyebut seperti halnya hubungan kakak dan adik dan juga lebih dari itu." Aku menjelaskan dengan penuh penghayatan.

Kana dan Lavi pun terdiam, mereka tak ingin menanggapi dengan cepat dan memberiku waktu untuk bercerita lagi.

"Tapi ya, kalau dirasa dari sejak aku kenal sama kak Yasa. Dia tuh kayak replika dari kakakku yang kedua. Gimana enggak nyaman?"

"Wait! Aku mau tanya ke kamu. Kenapa di setiap cowok yang hadir dalam hidup kamu, selalu kamu sama-rata-kan dengan kakak-kakak kamu?" tanya Kana dengan penasaran.

Lihat selengkapnya