"Kenapa harus aku?" tanyaku dengan spontan.
"Kamu enggak pernah ngehargain orang-orang yang hadir dalam hidupmu." Seorang lelaki berucap sangat lantang di hadapanku.
"Siapa yang enggak pernah ngehargain? Mereka-mereka cuma menyatakan perasaannya, lalu melenyapkan pertemuan yang sebelumnya selalu ada—pun mengganti dengan sindiran yang tak semestinya ada. Kami, perempuan-perempuan yang punya perasaan. Yang lebih banyak menjaga kedamaian hati dengan mengumpulkan bukti-bukti. Tetapi mengapa, tuan-tuan yang datang tempo hari malah menjadi seseorang yang lain di hari ini?" ucapku dengan membela hak-hak perempuan yang sudah menjadi korban perasaan oleh seorang lelaki yang disebutnya tuan.
"Sekali kamu mengelak, akan kuberi luka yang tak pernah membuatmu bebas untuk bergerak!" tindas lelaki itu.
Aku pun segera menghindar dari tikamannya. Ya! Lelaki itu mencoba untuk menyerangku dengan beberapa benda yang sebelumnya ia sebut pisau, tetapi lebih kuanggap seperti sebuah sisir yang biasanya dipakai oleh ayahku saat menyisir.
"Hwaaaaaaa!" Aku terbangun seketika. Bersyukur banget kalau yang barusan ini cuma mimpi. Tetapi, aku terkejut saat melihat ruangan yang gelap gulita—yang tak bersemayam secercah cahaya. Sama saja seperti mimpi yang barusan terjadi, gelap kelam dengan cerita yang tak masuk akal.
"Kok pada gelap sih? Ada apa ini?" gumamku yang saat ini sedang mencari sebuah lilin di laci meja kecil dekat ranjang kamar.
Sembari meraba di sekitar, ada suara seorang perempuan yang memanggil namaku—mungkin ibu tengah panik karena sedang sendirian. Saat ini pukul sebelas malam, lilin sudah menyala oleh api. Aku segera keluar dari kamar dan menuju kepada ibu yang tak kutahu di mana keberadaannya.
Setelah menyelinap masuk ke kamar ibu, suara itu pun hilang. Loh? Ada apa ini? Ibu ke mana? Sementara, jendela kamar sedang terbuka sangat lebar. Anehnya, listrik di jalanan masih saja menyala seperti tak ada gangguan. Wah! Sepertinya ada yang tidak beres di rumah ini.
Aku baru sadar, kalau beberapa hari yang lalu listrik di rumah sedang tidak stabil. Mungkin ada yang harus diganti, tetapi masih belum juga dibenahi. Karena ayah sedang ada tugas di luar kota selama dua minggu, ibu pun seharusnya ada di kamar ini. Ibu pergi ke mana?
Aku langsung keluar dari kamar ibu, bergegas mengambil ponselku untuk menghubungi nomor ibu. Tiga menit kemudian, tak ada jawaban. Bahkan di kamar ibu juga tak terdengar ponselnya saat berdering. Hiks, ibu pergi ke mana sih?
"Kok jadi horor gini ya!" rintihku kepada lilin yang mulai mendekati waktu menyala di detik terakhirnya.
"Apa jangan-jangan ada maling? Ah enggak mungkin lah, desa ini kan aman. Tetapi, ibuku ke mana Ya Tuhan," rintihku sekali lagi kepada sebuah lilin yang sedang kubawa ini.
Terlintas dalam pikiranku—apa aku telepon mas Setya aja kali ya? Minta saran ke dia. Hmmm, udah malam gini tapi. Ya udahlah, kan posisinya lagi urgent banget.
Sebuah kontak yang kuberi nama, 'Mas Setya' itu, kini tengah kucoba untuk hubungi. Terdesak di antara panik dan khawatir, serta takut dengan beberapa pikiran yang mengarah pada hal negatif.
Panggilan pun terangkat—terdengar suara mas Setya yang cukup antusias menerima panggilan dariku.
"Ada apa Noni?" tanya mas Setya dari seberang sana.
"Mas Setya, di rumah sedang padam listriknya. Anehnya, ibu juga menghilang tiba-tiba. Aku sedang sendirian dan sedikit ketakutan. Mas di mana sekarang?" jelasku pada mas Setya.
"Mas lagi di rumah sih, bentar ya. Mas akan ke sana. Noni cari tempat yang paling aman saja, jangan ke mana-mana sampai listrik menyala atau mas sudah di sana." Mas Setya memberikan pesan yang kini membuatku bertambah ketakutan.
"Bb ... baik Mas Setya. Noni tunggu," jawabku lirih.
"Hati-hati, Noni." Mas Setya berucap dengan nada setengah khawatir.
Ya Tuhan! Hidupku sudah horor, kenapa yang kali ini sangat menjadi horor.
Aku segera berbalik dan masuk ke dalam kamarku. Sebuah tempat yang ku pikir sangatlah aman dan semoga begitu. Masih di tengah ketakutan dan kekhawatiran, aku merapalkan doa-doa yang menyangkut keamanan ibuku maupun ayahku. Aku tak berani menghubungi kedua kakakku. Karena keberadaan mereka saat ini juga di luar kota dan luar pulau Jawa. Pun juga ayah, aku takut membuatnya tidak fokus dalam bekerja. Satu-satunya yang kuandalkan yaitu mas Setya, meskipun kedua orang tuaku belum tahu dan kenal dekat.
Dua puluh menit kemudian, aku dikejutkan oleh suara ketukan yang cukup keras. Suara itu berasal dari depan pintu kamarku. Wow! Siapa itu? Beraninya untuk jahil di rumah ini. Pikiranku makin berprasangka buruk. Aku sudah sangat berpasrah, kalaupun pintu kamarku berhasil terdobrak olehnya yang tak kuketahui dengan pasti.
Mas Setya menelepon nomor ponselku, segera kuangkat dan mungkin dia juga mendengar isak-isak tangisku.
"Noni? Masih di dalam kamar kan?" tanya mas Setya.
"Iiii ... Iya Mas Setya. Mas, di depan pintu kamarku sedang ada yang mengetuk sangat keras. Aku takut dia mendobrak dan mengancamku," laporku kepada mas Setya.
"Noni banyak doa ya, mas lagi ke pak RT. Sekalian bawa beberapa warga biar bisa tangkap pelakunya," ucap mas Setya.
"Pelaku? Emangnya ini ada apa sih mas?" tanyaku menyelisik.
"Yaa, mungkin aja kalau ada maling di rumah kamu. Tapi ya semoga saja tidak, kalau dipikir sih ngapain orang jam segini ganggu jam tidur penghuni rumah? Biasanya kan kerjaannya maling. Udah, tenang aja." Mas Setya berbicara setengah menakutiku.
"Mas Setya kok jadi tambah buat Noni khawatir sih. Mas, Noni ini lagi takut banget loh. Mas mendingan cepat ke sini, tangkap malingnya." Aku berbicara sedikit mengegas.
"Iya Noni, sabar. Di dalam kamar aja ya," pesan mas Setya.
Tak lama kemudian, pintu itu berusaha untuk didobrak oleh seseorang dari luar. Gila! Aku udah sangat pasrah kali ini. Mungkin habis ini aku akan jadi korban, tapi di mana ibuku sekarang?
Aku menahan tangis dan takut yang sedang berpesta ria di ruangan gelap ini. Sengaja aku matikan lilin dan bersembunyi di bawah ranjang. Udahlah, semoga pelakunya tidak berhasil menemukanku yang hampir gila malam ini.
Pintu kamarku berhasil terbuka oleh dobrakan kerasnya. Wah! Benar rupanya. Pelaku yang sempat diperkenalkan oleh mas Setya tersebut—saat ini telah puas merusak pintu kamar kesayanganku. Dia memakai sepatu boots, kakinya tampak kekar. Celana berwarna hitam yang ia kenakan. Serta jaket kulit dan topi hitam dengan kacamata dan penutup mulut. Gila! Totalitas banget ini maling.