"Tapi kenapa Noni enggak di dalam kota aja? Universitas di sini juga bagus kok Nak." Ibu menanggapi dengan sangat serius.
"Ibu, Noni pengin merantau Bu." Aku menjawab dengan apa adanya.
"Apa Noni mau masuk ke Universitas Negeri?" tanya Ibu.
Aku terdiam sejenak, tak pernah terlintas dalam pikiranku untuk memperjuangkan universitas negeri di luar sana. Aku hanya ingin merasakan posisi menjadi anak rantau saja.
"Baik negeri maupun swasta, Noni tetap ingin merantau." Aku menjawab dengan kekeh.
"Nak, ibu sangat memberikan restu bila kamu ada di kota ini. Kedua kakakmu sudah merantau jauh, apa kamu tidak kasihan dengan ibu?"
Raut wajah ibu sangat memelas, aku tak tega melihat ibu seperti ini. Tetapi, keinginanku untuk merantau sangatlah kuat—apakah tetap kuperjuangkan atas nama hasrat yang dari dulu selalu kuimajinasikan?
"Tapi Bu, apakah boleh jika Noni tetap berjuang untuk melamar universitas di luar kota? Noni pengin mencobanya Bu."
Di antara kami berdua pun hening, ibu seperti menimbang ulang pernyataan yang terucap dariku.
"Maaf ya Noni, ibu tetap pengin kamu ada di dalam kota."
Ibu segera beranjak setelah mengucapkan kalimat akhir yang sangat membuatku sedih. Padahal, aku sendiri sudah sangat ingin menghirup udara sejuk di tanah rantau—yang selalu aku pikirkan di setiap malam tepatnya saat tiga bulan terakhir berstatus siswi kelas 11.
"Huft ... apa seperti ini nasib menjadi anak perempuan sekaligus anak bungsu di suatu keluarga?" keluhku terhadap takdir.
Ponselku menyala, ada chat masuk dari mas Setya.
Mas Setya: Dek
Noni Dhaf: Apa Mas?
Mas Setya: Di rumah?
Noni Dhaf: Iya nih, kenapa?
Mas Setya: Mas Setya ke situ ya? Boleh?
Noni Dhaf: Jangan dulu Mas, aku lagi enggak mood nih. Sorry.
Mas Setya: Kenapa Noni?
Kubiarkan chat dari mas Setya menggantung. Segera aku menuju ke dalam kamar untuk mencari ketenangan.
Sangat sengaja aku mematikan ponsel, disusul dengan rerintikan air mata yang cukup deras jatuhnya. Malam itu bulan purnama sangat sempurna, tetapi tidak dengan suasana hatiku—yang penuh akan pahatan luka.
Tangisku belum usai, aku meraih buku catatan yang berwarna hitam pekat. Sebuah buku yang penuh akan tulisan impian—baik dalam waktu yang singkat ataupun panjang. Ada beberapa angan yang aku ingin capai; menjadi anak rantau, menjadi seorang mahasiswa IPA, dan mengunjungi dunia angkasa di luar sana. Catatan angan yang cukup hebat, tetapi apalah daya? Semua tersemat hanya menjadi angan belaka.