Aku menatap kembali sebuah buku yang akhir-akhir ini berada di pajangan meja belajarku. Buku yang bersampul hitam pekat dengan tersemat sebuah tulisan, ‘Conquer the Life with Your Courage, Can You?’
Buku agenda yang kudapat saat ulang tahun ke-17 dari kak Aba. Saat ini sudah hampir setengah bagian penuh kuisi dengan segala hal yang tidak bisa aku bagikan kepada manusia. Salah satunya adalah impianku, yang tetap kekeh untuk merantau. Meski sampai kini ibu dan ayah belum memberikan lampu hijau, aku tetap mempersiapkan diri.
Selesai sudah aku melewati ujian akhir dan tugas-tugas sekolah. Sisanya cukup aku manfaatkan untuk memperkuat mental dan kesiapan menghadapi tes masuk perguruan tinggi. Ditambah dengan pengumuman SNMPTN yang terhitung satu minggu lagi—hanya doa terbaik yang bisa aku panjatkan pada Tuhan, karena iya dan tidaknya pun kembali pada Ridha-Nya semata.
"Noni, sarapan dulu Nak." Ibu memanggilku untuk mengajak sarapan bersama.
"Iya Bu, sebentar lagi." Aku menyahut dengan nada yang sangat sopan.
Aku menarik kuat rahang atas dan bawah ke sisi masing-masing, agar menenangkan hati dan menghembuskan napas berat untuk meluapkan kekhawatiran.
"Semangat Noni! Kamu pasti bisa," seruku pada buku agenda yang tengah ku genggam ini.
Aku pun beranjak dari tempat dudukku dan berjalan menuju ke ruang makan. Hanya terdapat ibu dan ayah saja, kemudian aku yang menyusul untuk bergabung dengan mereka.
Cahaya masuk menembus jendela dapur, terlihat binar di raut wajah ayah yang sudah tampak kerutan pada dahinya. Ayah masih semangat dalam bekerja, demi menafkahi ibu dan juga aku. Ayah yang selalu menjadi alasan bagiku untuk bersemangat melanjutkan pendidikan—aku ingin membalas jasa-jasa ayah yang selama ini bekerja keras demi mengais pundi-pundi rupiah untuk keluarganya. Pun juga ibu, yang selama ini selalu sabar mendidik dan mendukungku—yang tak pernah terbenam seutas senyum dari ketulusan hatinya.
"Selamat pagi Ibu, Ayah." Aku menyapa kedua orang tua yang selalu ada di sisiku.
"Pagi Nak," sahut ibu.
"Pagi Sayang." Ayah pun menimpali sahutan ibu.
Aku kembali tersenyum—melihat keduanya masih sangat segar bugar dan terlihat muda. Ayah dan ibu adalah kedua pahlawan hidupku. Mereka berdualah yang tak pernah meninggalkanku sendirian.
"Ayo nak, sarapan dulu. Ibu buatkan sambal bawang penyetan tempe kesukaan kamu," ucap ibu seraya membocorkan menu sarapan hari ini.
"Fyuhhh! Dari aromanya saja sudah kentara Bu, sepertinya perutku sudah siap untuk melahap pipihan tempe yang terdekap oleh sambal bawang buatan ibu."
Ibu dan ayah menyambut dengan gelak tawa. Aku hanya bisa memperlihatkan deretan gigi dengan kedua mata hampir sipit.
Kami bertiga pun segera melahap habis makanan. Wah! Asli mantap si sambal bawangnya ibu. Menggugah selera banget! Enggak salah kalau sedari kecil, menu sarapan kesukaanku adalah sambal bawang ini.
"Alhamdulillah bersih semua. Ibu lega banget jadinya," ucap ibu seraya mengangkat kedua ibu jarinya—top markotop.
Aku segera membereskan piring dan gelas yang kotor untuk kemudian kucuci bersih di wastafel dapur.