Paintease

Delima Ami
Chapter #38

Bab 3. Convey the Positive Vibes

Hari ini aku sudah diperbolehkan untuk pulang ke rumah. Rupanya terbaring payah sangat membuatku lupa terhadap dunia. Dunia yang sebelumnya memberiku harap hingga sampai bertemu pada sebuah luka. Aku sadar, bahwa semua ini tidak sepenuhnya bisa terjadi atas keinginan hati. Ada yang mengendalikannya dengan penuh rasa—aku sendiri yang terlalu keras menentangnya. Demi hasrat yang penuh ambisi, agar semua menjadi suatu hal yang nyata.

Sebuah kursi roda berwarna hitam telah menunggu untuk mengantarku pergi dari ruang inap ini. Bukan ayah ataupun ibu yang menjemputku untuk pulang—karena mereka berdua sedang sibuk bekerja dan untungnya kak Aba bersedia menjadi wali dalam penjemputan pasien.

"Kamu kok sedih gitu? Masih pengin tidur di rumah sakit ya Dek?" tanya kak Aba yang tak sengaja menatapku lekat sebelum ia mendorong kursi roda yang sudah aku duduki ini.

"Hmmm, Kak Aba enggak pernah ada libur buat ledek adeknya sendiri ah!" Aku menyahut dengan menampakkan raut wajah yang sangat kesal.

"Hahaha, lagian di momen kayak gini tuh seharusnya kamu senyum atau setidaknya enggak cemberut gitu. Jelek banget dilihatnya," goda kak Aba yang semakin menelisik keadaanku.

"Cantik kayak gini, malah dibilang jelek. Kak Aba harus bersyukur punya adek perempuan yang jelita kayak gini. Langka banget loh, jadi Kak Aba enggak boleh keseringan ledek Noni. Oke?" Aku mengancam dengan penuh rayu yang menawan.

Kak Aba hanya tersenyum lebar dan mengiakan semua ucapanku.

"Udah yuk, Noni sekarang kakak antar pulang ke rumah. Biar bisa lanjut istirahat," ucap kak Aba sembari mulai mendorong kursi rodaku.

Hampir 30 menit perjalanan menuju rumah, kak Aba menghentikan mobilnya di dekat kedai minuman. Mungkin dia sedang kehausan karena sedari menjemputku di rumah sakit pun tak kulihatnya meneguk air sedikitpun.

"Noni di dalam mobil dulu ya, kakak mau turun dulu."

Aku mengangguk dan membiarkan kak Aba pergi meninggalkanku sendirian di dalam mobil ini. Aku menyandarkan kepala dengan legawa, menatap jauh ke arah langit yang sudah mulai berwarna orange. Senja telah tiba saat ini.

Tiba-tiba saja aku teringat dengan mas Setya. Sudah 4 hari dia tidak memberi kabar, mungkin karena di sana sedang susah sinyal atau dia terlalu banyak mengejar waktu agar proyek yang dikerjakan lekas selesai.

"Apa kabar mas Setya, senja di sini cukup indah kupandang. Mungkinkah di sana kau juga sedang memandangnya? Aku sangat ingin menghabiskan senja denganmu lagi, seperti minggu-minggu yang telah berlalu."

Kak Aba pun kembali dan duduk di kemudi mobil. Ia menyodorkan paper bag yang mungkin berisi gelas minuman untukku habiskan.

"Wah, sepertinya ini strawberry milk kesukaanku." Aku menebak dengan penuh percaya.

Setelah aku keluarkan isinya, ternyata benar sekali aku menebak pemberian darinya. Segera aku minum, karena strawberry milk yang ini masih hangat—membuatku terpikat untuk meneguknya habis tak tersisa.

"Noni suka?"

"Tentu dong Kak, hehe. Makasih ya Kak Aba. Jadi makin sayang deh," sahutku menunjukkan wajah gemas.

"Hahaha, ya udah kak Aba antar kamu pulang dulu ya."

Mobil pun berjalan dengan kecepatan 40 km/jam, jalanan pulang tidak terlalu padat—sehingga membuat kak Aba tidak tergesa mengendarai mobil sekaligus menikmati perjalanan ini.

"Kak Aba, emangnya Kakak habis ini langsung balik ke tempat kerja?" tanyaku memecah sunyi.

"Enggak, paling ya nanti malam sekalian nunggu ayah dan ibu pulang ke rumah."

"Di sana pasti ramai ya jalanannya, sampai-sampai Kak Aba sangat menikmati perjalanan pulang ini."

"Hehehe, tentu dong Non. Di sana kan kota metropolitan kedua setelah ibukota. Tentu sangat beda jauh dengan kota ini."

"Ttt—tapi kak, pernah enggak Kak Aba menyesal karena telah pergi meninggalkan kota ini? Yang mana kota ini juga telah membantu kakak menjadi seseorang yang dewasa."

"Hmmm, kalau ditanya menyesal apa enggak—ya enggak pernah sih Non. Karena orang hidup itu enggak harus dia yang berdiam ataupun berpindah tempat tinggal. Kan yang penting, bagaimana orang tersebut leluasa menerima apa yang terjadi di dalam hidupnya. Atau dalam artian, orang tersebut mah percaya kalau hidupnya akan semakin baik-baik saja di setiap harinya."

"Kak Aba nyaman ya tinggal di sana?"

"Hohoho, kak Aba ditempatkan di mana pun—mah kakak terima aja. Nyaman atau tidak—ya harus dibuat nyaman. Namanya juga kota metropolitan di provinsi Jawa Timur, udah tau sendiri kan—panasnya kayak gimana, macetnya kayak apa, sepinya jalan yang enggak bisa diprediksi. Tapi ya kembali lagi, kak Aba niat buat ibadah dengan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidup sama keluarga kecil kakak. Jadi di manapun itu, kan masih di buminya Tuhan Yang Maha Esa."

"Kak, padahal Noni pengin banget merantau ...."

Aku mengucapkan sebuah kalimat yang sudah sangat lama ingin kuungkapkan pada kak Aba—mungkin habis ini reaksinya tidak akan sama dengan ayah dan ibu. Bersama aliran air mata yang sudah tak kuat untuk kutahan dipelupuk mata. Maaf ya senja, kali ini aku tak bisa membohongi diri sendiri untuk terlihat tegar disaat kepergianmu yang tersambut oleh warna langit yang mulai menggelap.

"Noni pengin merantau ke mana? Apa ayah dan ibu sudah setuju?"

"Tidak ada restu yang kudapat dari mereka berdua Kak."

"Noni yang sabar ya. Noni harus bisa menerima dengan lapang dada. Ayah dan ibu pasti tahu mana yang terbaik untuk Noni."

"Memangnya apa Kak yang terbaik untuk Noni? Apa Kak?"

Aku berucap dengan nada yang sedikit tinggi—menumpahkan segala yang kusimpan sendiri selama ini. Kak Aba adalah tempat curhat yang selalu memberikanku waktu untuk menuangkan isi hatiku. Seorang laki-laki yang sedari aku lahir telah menjadi kakak kandung dan juga teman bercerita—mana mungkin ada orang lain yang sama sepertinya. Tidak ada, dia adalah satu-satunya yang bersedia mendengarkanku.

"Noni, pasti kamu juga sudah tau kan—kamu itu kan ...."

"Anak paling bungsu di keluarga dan anak perempuan satu-satunya? Aku tau itu kak. Banyak kok di luar sana yang sama sepertiku, tetapi mereka mendapat restu untuk pergi merantau. Takdir mereka juga begitu bagus—tak sama denganku yang selalu menjadi patah dan pupus."

"Dek, enggak baik bilang kayak gitu."

Aku bergeming—semakin sesak saja sesuatu yang ada di dadaku. Entah itu apa? Rasanya seperti saat aku mendapat penolakan atas apa yang aku inginkan sebelum diriku terjatuh sakit.

Lihat selengkapnya