"Halo, Noni, aku udah di depan rumah nih."
"Oh iya, sebentar ya. Aku buka dulu pintunya."
"Oke!"
Setelah kuakhiri panggilan dari Lavi, aku segera keluar dari kamar untuk membukakan pintu rumah. Pagi itu ayah dan ibu sudah kembali pergi untuk bekerja. Aku hanya sendirian saja dan kebetulan ada Lavi yang katanya mau menemaniku sepanjang hari ini.
"Hai Noni sayang ... Duh kangen aku," ucap Lavi dengan sapaan sebuah pertemuan.
"Ehehe, aku juga. Tapi kangennya udah berkurang dong." Aku menanggapi ucapan Lavi dengan antusias.
"Aku boleh masuk enggak nih?"
"Oh, tentu boleh dong. Yuk ah!"
Lavi pun mengikuti arah langkahku untuk menyusuri isi rumah hingga sampai pada sebuah pintu yang bertuliskan 'Ruang Nona Kecil'—sebuah kamar yang menerimaku apa adanya sampai detik ini.
"Sepi amat di rumah Non."
"Iya, ayah sama ibu lagi keluar. Kak Aba juga udah balik ke kota seberang."
"Oh gitu. Ya udah, aku di sini agak lama boleh berarti ya?"
"Tidur di sini juga gapapa kok, hehehe."
"Hohoho, lihat nanti aja deh."
Aku dan Lavi duduk di atas permadani mini untuk sarapan bersama. Hari ini Lavi membawakanku bubur ayam dekat makam pahlawan yang terkenal sangat enak. Memang, super enak.
"Pakai sambal enggak?"
"Pengin sih, cuma masih masa pemulihan jadi disarankan untuk tidak melanggar pesan dari dokter."
"Oh, ya udah kalau gitu sambalnya aku jauhkan dulu, haha. Biar kamu enggak kepikiran makan sambal."
"Hohoho, makasih Lavi."
"Nih, buat kamu."
"Eh jangan diaduk buburnya."
"Hah? Eh, iya maaf."
"Hahaha, aku kan enggak suka makanan yang dicampur-campur."
"Iya deh, untung aja belum tercampur rata. Maaf ya."
"Hehehe, Lavi mah sukanya dicampur dan diaduk."
"Hohoho, kita ini seleranya beda. Tapi tetap bisa satu frekuensi, ya, kan?"
"Yap! Benar sekali."
"Ya udah yuk, makan dulu buburnya."
Aku dan Lavi segera melahap bubur ayam dengan penuh penghayatan.
***
"Eh Non, kamu udah tau belum?"
"Apa?"
Aku dan Lavi singgah di balkon rumah, untuk bercerita puas bersamanya.
"Kana juga mau lanjut di Universitas Deepa Prawara."
"Kana Meera teman kita?"
"Iya!"
"Hmmm."
"Oh iya, rencana kamu mau daftar ke universitas mana? Stay di kota ini aja, kan?"
Aku pun tak tergesa untuk menjawab pertanyaan dari Lavi. Lagi-lagi aku dibuat dilema tentang kelanjutan studiku ini. Apa iya, kalau aku pergi merantau hanya untuk egoku dan bukan untuk mimpi-mimpiku. Sedangkan di sini, semua orang yang dekat denganku—sangat mendekap penuh kehangatan. Mereka terlalu sulit untuk aku tinggalkan.
"Kamu masih pengin merantau ya Non?"
Aku hanya bergeming. Jalan apapun yang aku tempuh untuk bisa merantau juga tak akan berhasil. Setelah sembilan hari dirawat inap bahkan sampai detik ini juga masih saja tak kutemui diriku. Kamu ini mau apa sih Non?
"Noni!"
"Eh, emmm. Kenapa Vi?"
"Kamu enggak dengar pertanyaanku? Aku dari tadi tanya ke kamu loh Non. Aku enggak lagi ngobrol sama patung, kan?"
"Hmmm, kenapa Vi?"
"Tuh kan! Noni, ayo dong. Kamu harus benar-benar memahami diri kamu sendiri. Aku enggak mau lihat sahabatku harus jatuh sakit lagi—karena berperang sama egonya sendiri."
"Berat Vi. Kota ini memang membuatku bahagia, tapi di sisi lain, aku juga pengin menemukan kebahagiaan yang lebih baru."
"Apa kamu yakin akan bahagia?"
Sorot mata Lavi sangat tajam, kali ini dia sudah sangat gemas terhadapku. Apa aku terlihat keras kepala di matanya—juga di mata mereka semua. Aku berusaha mencari kebahagiaan di saat diriku belum sepenuhnya yakin akan mendapat kebahagiaan yang sesuai dengan ekspektasi—lalu bagaimana bisa aku melangkahkan kaki untuk berpindah ke kota yang lain?
"Kalau aku minta saran untuk tujuan universitas, kamu bakal kasih rekomendasi yang seperti apa?"
"Hmmm, kamu ... mau ambil yang sejalan apa lintas jurusan?"
"Aku udah terlanjur patah hati sama jurusan sebelumnya."
"So? Kamu ambil yang lintas jurusan?"
Pertanyaan Lavi sangat membuatku berpikir keras—apa iya aku akan mengambil jalan yang seperti ini? Apa ini juga akan melawan takdir lagi?
"Hmmm, kira-kira begitu Vi."
"Kok? Enggak yakin gitu sih kamu Non?"
Aku menampakkan wajah pasrah kepadanya—tak hanya itu, mungkin juga sangat berserah diri kepada semesta. Aku tak ingin menumbuhkan ambisi lagi seperti sebelumnya.
"Noni, jadi kamu mau pilih apa?"
"Mungkin, dunia ekonomi cukup menarik hati kali ya."
"Ekonomi? Mau ambil Manajemen? Widih, keren deh Ibu Noni Dhafina ini. Hahaha, aku dukung Non!"
"Eh bukan, aku enggak suka jadi yang paling tinggi. Bukan Manajemen, enggak bakat banget di dunia itu."