Tiga hari menjalani masa pemulihan, aku diharuskan untuk pergi ke rumah sakit—check up perkembangan imunku. Hari ini aku ditemani oleh Lavi—dia sudah menawarkan diri dan berpamitan kepada ayah dan ibuku untuk mengantarkanku pergi.
"Yuk kita tunggu di sini," ucap Lavi sembari mempersilakanku untuk duduk di ruang tunggu.
"Loh, bukannya harus daftar dulu ya Vi?"
"Udah kok, kemarin sesudah kamu kabarin aku—aku langsung kontak layanan umum di RS ini sekaligus daftarin kamu."
"Masya Allah! Sahabatku baik banget. Monangisss banget ini."
"Hahaha, udah enggak usah haru gitu. Kan udah seharusnya aku sebagai sahabat kamu—kayak gini."
"Makasih banyak ya Vi. Kamu udah kayak saudara kandung aku. Aku terharu, hiks, hiks." Aku menyandarkan kepala ke bahu Lavi—seolah bersikap paling manja.
"Butuh sandaran banget ya? Hehehe."
"Lavi mah, enggak bisa sekali aja lunak kayak aku?"
"I'm sorry, I can't be like you. Hahaha."
Aku dan Lavi menunggu nomor antrian panggilan. Kebetulan tinggal melewati dua panggilan nomor—aku akan melakukan konfirmasi administrasi.
"Nomor antrian, B-18 segera datang di Loket B."
"Eh itu, nomor antrian kamu. Yuk," ajak Lavi yang sedari tadi fokus menyimak panggilan dari nurse rumah sakit.
Aku dan Lavi segera menuju ke Loket B. Syukurlah aku menjadi pasien pertama yang akan menemui dokter spesialis gastroenterologi sore hari ini. Jadi, tidak perlu memakan banyak waktu ataupun pulang terlalu malam.
"Yuk duduk lagi Non, nanti kamu kelelahan gimana?"
"Vi, kayakanya habis ini aku bakal pecat kamu jadi sahabat aku deh."
"Hah? Pecat?"
"Iya! Tentu."
Lavi mengernyitkan dahi—mungkin dia sedang mencerna ucapanku yang terdengar tidak masuk akal.
"Kenapa? Aku—aku ada salah ke kamu? Non, jangan becanda please!"
"Hohoho, kok jadi tegang gitu ekspresinya."
Lavi tak merespons apapun—dia hanya mengangkat sebelah kanan alisnya.
"Eh, mmm. Ya, aku mau pecat kamu sebagai sahabat. Lalu aku angkat sebagai saudara. Duh, habisnya kamu terlalu baik untuk aku Vi. Aku cuma bisa bilang terima kasih yang banyak."
"Astaga Noni. Hahaha, aku kira apa. Bikin panik aja."
"Tapi, kamu tetap harus support aku ya?"
"Iya dong, pasti. Asal ...."
"Asal apa?"
"Asal kamu bersedia untuk stay di kota dan menggila bersamaku. Hahaha."
"Hohoho, Lavi, Lavi."
***
"Terima kasih ya, Dok."
Aku pun segera keluar dari ruangan dokter dan menuju ke ruang farmasi untuk pengambilan obat. Aku sengaja meminta Lavi agar tidak menunggu di sini—karena di sini sangat padat sekali, maklum hari Senin. Banyak pasien yang harus kontrol juga.
"Ini Mas."
Seusai menyerahkan resep dari dokter, aku mengambil posisi untuk duduk di sekitar ruangan—agar saat namaku dipanggil, aku bisa cekatan mengambil obatnya.
Dari jauh aku menatap ke sebuah sosok pria—yang tinggi kekar, ia sedang menggendong seorang bayi perempuan. Kelembutan yang kulihat darinya, membuatku teringat kepada ayahku saat aku kecil dulu.
Mungkin, aku dulu seperti bayi perempuan itu. Mungkin, aku dulu juga selalu ada dalam pelukan ayah. Mungkin, aku dulu selalu mengusik waktu tenangnya ayah. Mungkin, aku dulu sebagai alasan ayah tersenyum di setiap waktu.
Aku menerbitkan senyum—saat kulihat pria tersebut memapah wanita yang berada di sampingnya. Selain menjadi ayah yang baik, rupanya dia juga sedang memerankan sebagai seorang suami yang sedia. Lagi-lagi aku membayangkan kalau sepasang suami istri tersebut adalah ayah dan ibuku. Kebahagiaan tampak di antara mereka bertiga—teduh sekali untuk dirasakan kebersamaannya.
"Panggilan untuk Nona Noni Dhafina, segera ke ruang farmasi sekarang juga."
Aku beranjak dari tempat duduk dan menuju ke ruang farmasi untuk mengambil obat.
"Nona Noni Dhafina?"