Paintease

Delima Ami
Chapter #41

Sticky Hope

"Bu, Noni pamit dulu ya."

"Yakin, kamu akan kuat berangkat sendirian?"

"Iya Bu. Noni kuat kok."

"Ya sudah, hati-hati di jalan ya, Nak."

"Baik Bu, Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam Warahmatullah Wabarakaatuh."

Lepas dari masa pemulihan, aku menyibukkan diri untuk me time. Sengaja aku tidak menghubungi Lavi, karena nanti pasti dia akan menawarkan diri untuk menjemput dan menemaniku pergi. Yeah! Today is yours, Noni!

Aku sudah sampai di parkiran perpustakaan kota—segera aku melangkahkan kaki untuk mendekat ke pintu masuk. Masih tampak sepi rupanya, aku menjadi pengunjung pertama di hari ini.

"Mbak Noni ya?" sapa seorang petugas administrasi.

"Iya Kak. Hehe."

"Wah, sudah lama sekali Mbak Noni enggak berkunjung ke sini. Bagaimana kabarnya Mbak Noni? Makin cantik aja."

"Alhamdulillah, baru bisa banget datang ke sini Kak. Biasalah, keadaan Kak. Kabarku baik-baik saja kok, Kak Hendi sendiri bagaimana kabarnya?"

"Ya, beginilah Mbak Noni. Tetap Happy—meskipun masuk kerja setiap hari. Hahaha."

"Alhamdulillah, kan kerja juga ibadah ya Kak. Hehehe."

"Memang Mbak Noni ini the best! Sudah cantik jelita, hatinya juga baik sekali. Dua jempol buat Mbak Noni, hehehe."

"Hehe, Kak Hendi bisa aja. Ya sudah Kak, saya mau ke atas dulu ya. Mau baca buku, hehe."

"Oh, oke Mbak Noni. Monggo ...."

Setelah bertukar sapa dengan petugas administrasi, aku meringankan kedua kakiku untuk bisa menaiki anak tangga yang mungil ini. Sekitar 25 anak tangga yang sudah aku lewati—seperti biasa, aku menuju ke deretan buku tentang psikologi, islami, hingga ekonomi. Ketiga jenis buku ini memang keberadaannya saling berurutan—dari rak paling utara, hingga rak ketiga dari selatan.

"Aku pengin tau, perekonomian Indonesia ini sebenarnya sedang di titik yang bagaimana. Hmmm, apa aku harus baca sejarah keuangannya dulu? Mmm."

Kedua mataku masih memilah satu per satu buku tentang ekonomi yang sama sekali tak pernah aku pedulikan saat berkunjung ke perpustakaan kota.

"Super cerdas investasi syariah ... Hidup kaya raya, mati masuk surga ...."

Sebuah buku yang baru saja kusebutkan judulnya—bersampul putih dengan warna judul yang berwarna orange dan hijau, juga terdapat satu buah pot tumbuhan berdaun yang beralaskan setumpuk koin. Apa secepat ini, aku terjun dalam dunia ekonomi?

"Hmmm, dari sinopsis cukup ringan sih bahasannya. Apa aku harus mengambilnya?"

Dilema untuk mengambil buku tersebut—aku membalikkan badan dan membiarkan sorot mataku liar menelusuri buku islami. Terhenti pada sebuah buku yang bersampul hitam pekat—Kitab Al Hikam judulnya.

"Masya Allah, sinopsisnya sangat menyejukkan hati. Aku ambil dulu deh yang ini."

Setelah singgah di deretan buku islami, aku melangkahkan kaki ke arah utara—mendekat pada rak psikologi. Kupandang lambat satu per satu buku-buku yang bertengger rapi. Kuharap setelah ini aku menemukan sebuah buku yang—benar-benar bisa menghibur hatiku.

Sempat aku menemukan beberapa buku yang menyangkut perihal asmara, tetapi perhatianku tertuju langsung pada sebuah buku bersampul orange. Sepertinya buku ini berjodoh denganku hari ini.

"Mendaki Tangga yang alah ...."

Wait! Kok aneh ya? Iya, aneh banget. Kenapa judul buku ini membuatku tertunduk malu seketika. Seakan semesta sedang mengajakku untuk bercanda.

"Sebagian besar hal yang anda ketahui tentang kesuksesan adalah salah benar."

Maksudnya apa sih buku ini? Tak sabar untuk menelisik isinya, aku membalikkan buku yang baru saja aku ambil dan membaca sinopsis pada bagian belakang buku.

"Hmmm, rupanya buku ini—buku terjemahan dari seorang penulis sekaligus pencipta blog Barking Up the Wrong Tree. Mmm, ambil aja deh. Sepertinya aku jatuh cinta juga sama kamu."

Aku berbicara dengan suara yang tak terdengar keras, supaya pengunjung yang berada di sekitarku tidak mendengar senandikaku—yang sedari tadi tak cukup terlontar di dalam hati.

"Aku juga ...."

Langkahku terhenti di saat aku mendengar suara dari seorang pria yang lancang menyahut ucapanku. Dia sedang berada di utara rak buku psikologi—sedang aku di sebelah selatan. Aku penasaran dengannya—tetapi, mengapa harus aku begitu cepat menanggapinya. Lebih baik aku lanjutkan saja langkahku menuju ke reading area.

"Tunggu!"

Lihat selengkapnya