"Tidak terlambat ya Mbak."
"Siap Pak."
Aku menaruh buku-buku di keranjang pengembalian. Hari ini aku tak ingin meminjam buku—karena sudah ada janji bersama Mas Setya untuk seharian penuh ini.
"Halo Mas, aku udah selesai nih di perpustakaan."
"Oke, Noni tunggu di depan ya. Mas jemput kamu."
"Oke Mas."
Panggilan pun berakhir, aku melangkahkan kaki menuju ke pelataran depan gedung perpustakaan. Hari ini langit sedang berbahagia, rona birunya berlagak manja di pelupuk mata. Lima menit telah berlalu, mas Setya tak kunjung datang menjemputku. Aku memilih untuk duduk di kursi warung depan gedung perpustakaan, untung saja masih sepi—tetapi biasanya hanya pegawai perpustakaan saja yang datang dan meramaikan tempat yang berada di sudut pelataran area perpustakaan ini.
Aku mengamati orang-orang yang memarkir rapi motornya, menebak tujuan yang akan mereka lakukan—mungkin sama sepertiku saat datang ke perpustakaan. Yaitu mencari buku-buku untuk dibaca, kalau tak cukup waktu juga dipinjam untuk dibawa pulang—karena hal yang seperti ini lebih baik daripada membaca buku bajakan, bukan?
"Noni Dhafina?"
Aku menengok ke sumber suara yang baru saja menyebut namaku. Suara yang terdengar seperti seorang perempuan—yang tak asing di pendengaran.
"Kana Meera?"
Aku terkejut saat yang kulihat adalah teman dekat ketika waktu SMA dulu. Dia terlihat lebih rupawan daripada yang terdahulu, banyak perubahan yang tersemat pada tubuhnya.
"Apa kabar kamu Non? Udah lama enggak ketemu."
Dia menghampiriku dan memelukku begitu erat. Apa dia sedang melepas rindu padaku?
"Aku baik-baik saja Kana, kamu sendiri bagaimana?" Aku membalas pelukan erat darinya—sepertinya ia benar-benar sangat merindukanku.
"Aku juga baik-baik kok. Aku senang sekali, bisa bertemu denganmu lagi. Mungkin seharusnya aku malu karena bertemu denganmu Non. Tetapi, aku harus sadar diri—aku ini sudah terlalu menyakiti dirimu, masa aku harus bersikap buruk terus. Aku minta maaf ya atas perbuatan kejamku selama ini."
Aku menatap matanya sangat lekat, juga soft-lens abu-abu yang membuat dirinya makin cantik—serta dengan bulu mata yang super lentik. Dia sudah berubah menjadi manusia yang lebih baik saat ini.
"Iya Kana, aku sudah memaafkanmu dari dulu. Semoga ke depannya, kita bisa saling menjaga tali persaudaraan dengan kebaikan ya."
"Pasti!"
Aku kembali sibuk dengan ponsel—memeriksa kabar terkini dari mas Setya. Sepertinya jalanan sedang macet—maklum saja, hari ini kan weekdays.
"Oh iya, kamu udah dari perpustakaan ya?"
"Udah, hehe. Ini mau pulang."
"Nunggu siapa?"
"Oh, ini ... aku lagi nunggu mas ...."
Sebentar, kenapa aku harus bilang ke Kana. Bukannya apa ya, tetapi dia kan enggak tahu hubunganku sama mas Setya. I mean, dia kan dekat dengan Kak Yasa juga. Pasti nanti malah dikira yang aneh-aneh.
Kana mengernyitkan dahi, seperti sedang menunggu lanjutan dari ucapanku.
"Oh, ini. Mas saudara aku. Hehe."
"Oalah! Ya udah Non. Aku pamit dulu ya, mau masuk ke perpustakaan. Udah di tunggu sama kak Yasa soalnya."
Hah? Kak Yasa? Jadi, dia lagi ada di sini? Kok aku enggak tahu dia sih.
"Hoo, gitu. Ya udah, duluan aja. Have a nice day, Kana Meera!"
"Have a nice day too, Noni Dhafina."
Kana pun berbalik badan untuk kemudian beranjak pergi menuju pintu masuk gedung perpustakaan. Tetapi, saat langkah kakinya terhitung 10 langkah—dia berbalik ke arahku dan memanggilku.
"Noni!"
Aku menoleh ke arahnya dan berucap kata tanpa bersuara—apa?
"Selamat ulang tahun ya! Semoga kebaikan selalu menyertai langkah-langkahmu."
Aku sedikit terharu dengan ucapan dari Kana. Meski dari jarak yang setengah jauh, dia berteriak begitu keras dan sempat ada beberapa pengunjung memusatkan pandang kepadaku. Sedikit malu tapi penuh haru.