Seminggu sudah aku mempersiapkan diri untuk mendaftar kuliah di dalam kota. Aku ditemani oleh sahabatku—Lavi Ola. Yah, kira-kira masih tiga bulanan lah untuk berganti status menjadi seorang mahasiswi. Universitas yang aku tuju adalah universitas swasta—Universitas Deepa Prawara.
Aku dan Lavi akan berada di kampus yang sama, tujuan kami juga akan melintas jalur, dan tentunya akan benar-benar dalam suasana yang baru. Namun, aku dan Lavi tidak akan di dalam fakultas yang sama. Aku memilih di fakultas Ekonomi, sedangkan Lavi di fakultas Sastra dan Budaya. Aku sangat yakin dengan pilihanku. Aku pasti bisa menerima ilmu-ilmu baru setelah resmi menjadi seorang mahasiswi. Ayah dan ibu pun sudah tahu, mereka berdua sangat setuju dengan pilihanku.
Setelah aku pikir ulang dan berdoa agar diberi petunjuk oleh Tuhan Yang Maha Esa, kedua orang tuaku yang awalnya tiada pernah memberiku restu—kini pun sangat leluasa memberi dukungan dan dorongan semangat yang penuh. Aku juga merasakan saat hal-hal yang tadinya menurut aku sulit atau tak bisa aku lampaui, kemudian menjadi mudah dan sesuai dengan ekspektasiku.
Aku pun percaya, bahwa saat ini—rida dari Sang Ilahi telah mencurah di dalam hidupku. Dari hal yang paling kecil, aku selalu berada dalam perasaan yang bahagia. Dari sini aku lebih berusaha untuk membaca tanpa mengikutkan ego di dalamnya. Setiap orang akan berbeda jalan dalam mencapai tujuannya.
Seperti halnya saat di antara kita memiliki sebuah kunci, lalu kita dihadapkan dengan banyaknya pintu yang masih terkunci rapat. Bocoran akan pintu yang sebelah mana—yang sesuai dengan kunci yang kita punya, tidak akan disampaikan oleh Sang Pemberi Takdir—Tuhan Yang Maha Bijaksana. Karena setiap orang memiliki kunci, hanya saja mereka harus berusaha untuk mencari pintu—yang nantinya dapat ia buka dengan kunci tersebut.
"Kita mampir ke kedai bubur kacang hijau yuk," ajakku kepada Lavi.
"Spoiler rasanya dong bentar." Lavi menawar agar aku dapat sedikit memberikannya gambaran mengenai minuman kesukaanku sedari kecil.
"Rasanya tuh kayak bubur kacang hijau lah, cuma ...."
"Cuma apa?" tanya Lavi dengan penasaran.
"Cuma ya gitu, kalau udah selesai makan—harus bayar ke penjualnya."
"Ahahahaha ... lucu deh Non. Hahaha," ledek Lavi yang seseakan tertawa—padahal tidak sama sekali.
"Ih, dosa banget udah ngetawain kayak gitu." Aku menghukum Lavi karena telah berpura-pura untuk tertawa.
"Lagian, aku awam banget sama es yang baru saja kamu sebutkan."
"Pokoknya kamu akan tertagih terus untuk beli dan makan bubur itu. Enak kok, rasanya udah kayak moo menambah lagi. Hehehe, enggak hampir moo meninggal kok, tenang aja."
"Ih kok serem gitu ... Hahaha."
"Gimana? Mau?"
"Oke, mau. Pokoknya nanti kalau aku ketagihan, kamu harus siaga buat kembali lagi ke kedainya."
"Hohoho, tenang aja. Mari kita menggemukkan diri bersama."
***
"Es bubur kacang hijaunya dua ya Buk, di makan di sini."
Aku dan Lavi pun mengambil posisi untuk duduk bersebelahan di kursi yang sudah disediakan.
"Oh iya, gimana kamu sama mas Setya?"
"Hmmm, mas Setya jarang kasih kabar sih. Aku juga lagi enggak chat dia. Biar dia fokus dulu di sana, aku kasihan sama dia—ada banyak hal banget yang dipikirkan olehnya."
"Kok gitu?"
"Hah?"
Aku mencoba untuk mencerna reaksi dari Lavi yang baru saja ia suguhkan kepadaku.
"Non, dia udah yakin banget loh sama kamu. Masa kamu masih ragu ke dia. Emangnya ada cowok lain ya—yang sedang kamu pikirkan juga?"
Deg! Lavi Ola namanya, seni rupa adalah jurusan yang akan diambil olehnya saat kuliah. Tetapi, mengapa lagaknya seperti detektif kepribadian manusia sih? Tebakannya selalu aja benar.