Ternyata tidak semua cerita berawal dari saling melempar senyum ramah.
Sebab, saling benci pun bisa menjadi perkenalan yang istimewa.
Pada jam istirahat, untuk mengusir jenuh, Kia memilih memakan roti isi cokelat lengkap dengan susu kotak kemasan sambil mengobrol bersama Nazla dan Alfryda. Area taman SMA Gading, yang berpayung rindangnya pepohonan dan lumayan sejuk di tengah Kota Jakarta yang cukup panas, ikut membantu menormalkan suasana hati Kia yang sempat rusak perkara kelas unggulan.
Alfryda tidak henti-hentinya menceritakan setiap hal menyangkut sekolah. Dan, berbekal pengetahuan yang luas soal murid-murid SMA Gading, cewek itu menceritakan identitas dan fakta-fakta menarik dari beberapa orang yang kebetulan melintas atau berada di dekat area taman. Termasuk tentang junior yang genit atau senior yang paling disegani, Alfryda seperti kenal semuanya. Kia sedikit kagum dibuatnya, tapi sekaligus bertanya-tanya apakah Alfryda lebih banyak menghabiskan waktu untuk mempelajari seluk-beluk sekolah ketimbang materi pelajaran?
Dengan antusias Alfryda menepuk paha Kia dan menyuruhnya melihat ke arah tiga cowok yang baru masuk ke area lapangan basket. Kedatangan tiga cowok itu membuat siswa yang lain berhenti bermain untuk menunggu dua di antara mereka bergabung, sementara yang seorang lagi duduk di belakang ring sambil memangku sebuah buku.
“Nah, ini dia tiga cowok paling populer di sekolah ki—”
“Mereka sekelas sama kita, kan, Ryd? Yang duduk di deret paling barat?” Kia memotong begitu saja.
“Mereka emang temen satu kelas kamu, Ki ...,” sahut Nazla membenarkan.
Alfryda memutar kepala Kia agar kembali melihat ke lapangan. “Ya, ya, mereka emang temen sekelas kita. Tapi, lo belum kenal mereka, kan. Makanya dengerin penjelasan gue ini!” ocehnya dengan gaya yang menggelikan menurut Kia.
“Oke, kita mulai ....” Alfryda memberi jeda untuk menunjuk cowok yang sedang memegang bola basket sambil berlari ke arah ring. “Azka Geover. Dipanggil Azka. Nggak terlalu menonjol dalam akademik, tapi dia ketua basket sekolah kita. Udah nggak diragukan lagi prestasinya, karena itu Azka selalu bertahan di kelas unggulan. Fakta paling menarik adalah Azka belum pernah pacaran. Sifat dingin dan irit ngomongnya yang keterlaluan bikin gosip soal hubungan asmara Azka nggak tercium sama sekali oleh para penggosip kayak gue.” Nazla terkikik tanpa bisa memikirkan satu kata pun untuk mengomentari cara Alfryda bercerita.
Bola dioper dan berhasil ditangkap oleh subjek kedua yang akan Alfryda ulik—entah bagaimana yang menerima bola bisa pas seperti itu. “Kalau yang ini, Evanesean Pratama A.K.A Evan, pacarnya Nazla.”
Kia menyingkirkan tangan Alfryda dari kedua pipinya, lantas menoleh cepat kepada Nazla. “Waaah, jadi yang itu pacar lo, Naz? Gue sekelas sama pacar lo? Astaga ... nggak nyangka sahabat gue yang polos ini bisa bikin most wanted sekolah klepek-klepek! BTW, kenapa lo nggak pernah cerita soal Evan ke gue?!”
Pekikan Kia membuat pipi Nazla merona, cewek itu tampak sedikit salah tingkah saat bicara. “Mmm ... itu ... aku pikir kamu nggak akan tertarik, jadi nggak cerita. Maaf, ya, Ki ....”
“Nggak tertarik gimana, astaga?!” Sambil menggeleng tidak habis pikir Kia menepuk dahinya. “Tapi, ya udah, lah, lagian sekarang gue tahu ....” Cewek itu mengangkat bahu. Nazla menunjukkan simbol peace dengan mengangkat jari telunjuk dan tengah berbentuk seperti huruf V ke udara.
“Woi! Woi! Gue belum selesai, nih!” Alfryda, yang merasa dilupakan, mengeluarkan teriakan andalan. Perhatian Kia dan Nazla kembali teralihkan kepadanya.
“Hmmm ... udah, lah, soal Evan nanti biar Nazla aja yang cerita detailnya ke elo, Ki. Gue yakin Nazla tahu lebih banyak dari gue ....” Tampaknya Alfryda berubah pikiran, tak berminat lagi membahas Evan. Ia kemudian malah merebut seenaknya roti cokelat Kia dan langsung mengunyahnya. Kia memutar bola mata merutuki kelabilan sahabat barunya itu.