Palung Mariana

Nisya Nur Anisya
Chapter #2

FLASHBACK

Meskipun jam masih menunjukkan pukul 05.30 pagi, suasana bandara Soekarno Hatta sudah ramai oleh para penumpang yang akan pergi ketempat tujuannya masing-masing. Aku yang baru saja selesai melakukan check-in, kemudian duduk diantara ayah dan bunda, menatap lekat ke arah depan sambil bersandar ke kursi.

Namaku Putri Mariana Jesna, tetapi orang-orang lebih sering memanggilku Riana. Aku adalah anak bungsu dari dua bersaudara. Sejak kecil, aku sudah terbiasa menulis cerita pendek dan berakting bersama boneka kesayanganku, Susan. Kini, gadis kecil yang penuh ambisi, perfeksionis, dan kompetitif itu telah tumbuh besar dengan impian menjadi penulis skenario film.

Sejak kecil, hampir semua keinginan dan mimpiku selalu terwujud, berkat sifat perfeksionisku, jiwa kompetitif, ambisius yang kuat, serta keberuntungan yang selalu berpihak. Selain itu, peran kedua orang tuaku sangat besar dalam membentuk siapa diriku sekarang.

Mereka selalu memastikan anak-anak mereka tidak kekurangan kasih sayang karena tidak ingin aku dan kakakku, Andraste, merasakan kepahitan yang pernah mereka alami saat masih kecil. Ayah selalu memastikan kami tidak kekurangan dalam segi materi, sementara bunda selalu memberikan perhatian dan kasih sayang yang melimpah.

Aku sangat beruntung lahir dan tumbuh di keluarga yang penuh dengan kasih sayang. Satu momen yang sangat berkesan dan masih kuingat sampai saat ini adalah ketika bunda menemaniku ke Bandung untuk menghadiri acara kopdar dan konsultasi naskah langsung yang diadakan oleh Kwikku dan Falcon Publishing. Saat itu, aku menjadi salah satu peserta yang terpilih dalam acara tersebut.

Aku tumbuh di lingkungan yang penuh dengan kasih sayang, tidak hanya dari bunda, Ayah dan kak Andraste, tapi juga dari teman-teman sekolah dan tetangga di sekitar rumahku. Sekolahku saat SD awalnya adalah tempat yang ceria, dengan gedung-gedung tinggi besar yang dominan berwarna merah dan abu muda, serta halaman luas yang selalu dipenuhi anakanak bermain.

Setiap hari terasa menyenangkan, dikelilingi oleh teman-teman yang hangat dan guruguru yang ramah. Namun, segalanya berubah ketika aku meminta kepada kedua orang tuaku untuk bersekolah di Bandung bersama nenek dan kakekku, dan aku pun menjadi siswa baru saat duduk di kelas 4 SD.

Sekolah baruku memiliki suasana yang lebih kaku, dengan bangunan yang terlihat tua dan terasa sunyi. Meskipun ada taman kecil di depan sekolah, tempat itu lebih sering sepi dan terasa dingin. Di sinilah, aku menjadi korban perundungan. Teman-teman yang dulu memberi kehangatan kini digantikan oleh bisikan-bisikan tajam dan tawa mengejek.

Setiap hari di sekolah terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai, dan selama satu tahun penuh, hidupku seperti berada dalam bayangan-bayangan ketakutan. Trauma itu begitu mendalam hingga aku merasa berubah 180 derajat.

Setelah satu tahun penuh ketakutan, aku berubah menjadi anak yang pendiam, cemas, dan mudah merasa takut, terutama saat berada di lingkungan sosial yang ramai, seperti di sekolah. Bunda yang melihat perubahan drastis dalam diriku akhirnya memutuskan untuk membawaku ke psikiater dan memindahkanku ke sekolah lain saat kenaikan kelas 5 SD.

Di sekolah baruku ini, suasananya berbeda jauh. Aku bisa merasakan kebaikan dari teman-teman baru yang lebih ramah dan terbuka. Gedung sekolahnya lebih cerah, halaman luas dengan tanaman yang dirawat baik, dan lingkungan sekolahnya pun nyaman. Gurugurunya tak hanya mengajar, tetapi juga peduli dengan kesejahteraan murid-muridnya.

Di sini, aku mulai merasakan keceriaan yang dulu sempat hilang. Meskipun bayangan kelam dari masa kelas 4 SD masih membekas, namun perlahan-lahan aku merasa lebih aman dan diterima. Teman-temanku sering mengajakku bermain, dan tidak ada pemalakan atau intimidasi seperti sebelumnya.

Mereka benar-benar teman yang baik, dan guru-guru di sekolah ini seolah menjadi figur orang tua kedua yang menyayangiku. Aku sangat besyukur bisa berada di lingkungan yang mendukung dan menyayangiku. Masa-masa di sekolah ini sedikit demi sedikit membantuku menyembuhkan luka batinku.

Meskipun sudah berada di sekolah yang lebih baik, luka dari perundungan yang kualami tetap terasa hingga aku duduk di kelas 3 SMP. Setiap kali aku melihat atau mendengar sesuatu yang mengingatkanku pada masa kelam itu, hatiku bergetar. Meski sebagian momen saat kelas 4 SD sudah pudar dari ingatan, perasaan takut itu masih melekat erat, namun aku berusaha keras untuk melangkah maju. Kehidupan sosialku mulai membaik, dan perlahan-lahan aku menemukan kembali kepercayaan diri yang dulu pernah hilang.

Ketika aku masuk SMA, segalanya mulai terasa lebih stabil. Aku mulai menemukan ritme dan kedamaian dalam hari-hariku. Selain itu, aku pun mulai aktif dalam mengikuti kegiatan sekolah, bergaul dengan banyak teman, dan perlahan merasa lebih percaya diri.

Namun, semuanya kembali berubah saat aku gagal mendapatkan beasiswa Master di Korea Selatan untuk kedua kalinya. Sejak saat itu, setiap kali mengalami kegagalan dalam hidup, rasa kecewa dan putus asa semakin membebani pikiranku. Trauma dari masa kecil seakan kembali menghantui, membuatku merasa tidak mampu dan kembali ke dalam kegelapan.

08 Juni 2023, pukul 20.03 adalah momen yang paling aku benci. Untuk kedua kalinya, aku gagal mendapatkan beasiswa S2 di Korea Selatan. Seketika pelupuk mata terasa panas, dan badan lemas menyandar ke kursi setelah melihat email dari Dongguk University.

Tanpa aba-aba, air mataku mengalir deras menuju pipi, dan isak tangis yang kutahan semakin membuat dadaku sesak. Jujur, rasanya benar-benar seperti masa depanku hancur; semua perasaan yang ada di dalam diriku bercampur menjadi satu-marah, kecewa, sedih, takut-semua datang tanpa permisi.

Lihat selengkapnya