Palung Mariana

Nisya Nur Anisya
Chapter #6

MESIN WAKTU

Ini adalah awal di mana kak Andraste mengalami depresi berat, saat itu usianya masih 25 tahun. Hari itu merupakan hari yang menyeramkan untuk kak Andraste yang merupakan seorang dokter bedah baru, hari yang seharusnya membanggakan justrusebaliknya, di hari pertama operasinya, kak Andraste gagal menyelamatkan nyawa pasiennya.

Pria berusia 25 tahun ini muncul dari balik pintu dan berjalan gontai sambil membawa snelli ditangan kanannya. Aku, bunda dan ayah yang sedang menonton TV di ruang keluarga terkejut menatap raut wajah frustasi kak Andraste, pria itu tersungkur ke lantai dengan tangis yang mulai pecah, ini kali pertamanya aku melihat kak Andraste menangis sekencang ini.

"Ya ampun Andras, kamu kenapa nak?" tanya bunda panik, kemudian memeluknya beberapa menit.

Kak Andraste tidak mengeluarkan sepatah katapun, dia hanya bisa menangis tersedusedu dengan kepala yang masih menunduk, rasanya sakit melihat kak Andraste menangis seperti ini. Ayah mengelus lembut punggung kak Andraste, sedangkan aku hanya bisa melihat kak Andraste dengan air mata yang sudah siap jatuh menuju pipi.

"Kalau emang kamu belum siap untuk cerita gak apa-apa, kamu boleh nangis sepuasnya," ujar ayah pelan.

Perlahan kepala kak Andraste mulai terangkat, dia menatap bunda yang kini sudah berada di depannya, kemudian mengalihkan pandangannya ke arah ayah yang berada di sisi kanannya.

"Operasi pertamaku gagal," lirihnya masih tersedu-sedu.

"Maksud kamu gagal gimana?" tanya bunda bingung.

Kak Andraste mulai menjelaskan semuanya secara perlahan.

Kak Andraste dan beberapa tenaga medis lainnya sedang melakukan operasi transplantasi ginjal, operasi awalnya berjalan dengan lancar.

"Bovie," ujar kak Andraste yang saat itu bertugas sebagai dokter bedah.

Asisten dokter bedah pertama menaruh bovie di atas telapak tangan kak Andraste, kak Andraste mulai mencari pembuluh darah arteri dan vena. Namun, kak Andraste tidak sengaja memotong bagian arteri pasien sehingga menyebabkan pendarahan, suasana di ruang operasi seketika berubah menjadi tegang.

Dokter senior yang saat itu bertugas sebagai dokter bedah pendamping menatap kak Andraste terkejut, begitupun dengan kak Andraste yang menatap dokter senior di depannya dengan panik, tanpa berpikir panjang, dokter senior itu langsung mengambil alih.

"Dokter Andraste bersihkan pendarahannya," perintah dokter senior tersebut, kak Andraste mengangguk.

"Penyedot! Kain kasa," ujar kak Andraste mencoba tenang dan langsung menyedot darah.

Sementara itu, dokter senior tersebut langsung mencari titik pendarahannya. Namun, tiba-tiba saja detak jantung pasien melemah, suasana di ruang operasi semakin tegang, beberapa detik kemudian akhirnya dokter senior tersebut menemukan titik pendarahannya.

"Tambahkan masing-masing tiga kantong sel darah merah dan plasma beku segar," ujar dokter anastesi tersebut dengan tenang.

"Baik," ujar perawat perempuan tersebut.

Dokter anastesi memasang kantong darah baru.

"Benang bedah," ujar dokter senior tersebut.

Kak Andraste menatap dokter senior tersebut beberapa detik, dan kembali menyedot darah. Dokter senior tersebut mulai menjahit arteri yang pendarahan, perlahan pendarahan mulai berhenti, kak Andraste pun berhenti menyedot darah.

"Cut," ujar dokter senior tersebut.

"Cut," ujar asisten dokter bedah kedua.

Semua tenaga medis menghembuskan napas lega setelah doter senior tersebut selesai menjahit arteri yang terpotong dan detak jantung pasien kembali normal. Perawat wanita mengambil ginjal dari baskom berisi air es, kemudian memberikannya kepada kak Andraste, kak Adraste memasukan ginjal tersebut ketempatnya.

Kak Andraste kembali menyambungkan arteri dan vena dengan dijahit, setelah itu urine keluar dan dilakukan penanaman saluran kemih ke kandung kemih pasien.

"Baik, mari kita selesaikan, kita akan mulai menutupnya sekarang," ujar dokter senior tersebut.

Dokter senior tersebut mulai menjahit perut pasien, operasi selesai, para tenaga medis menghembuskan napas lega, sepuluh detik kemudian mesin EKG berbunyi.

"Doter Hermawan, bukankah anda sudah menghentikan semua pendarahannya?" tanya dokter anastesi menatap dokter senior tersebut.

"Sudah," jawab singkat dokter senior tersebut mencoba tenang.

Lihat selengkapnya