Pagi telah menyambut dengan indah, kicauan burung saling bersahutan di pohon, cahaya mentari mengintip disela-sela tirai jendela dan membelai lembut wajahku. Mata sipitku perlahan mulai terbuka, aku meraih ponsel di atas meja samping tempat tidurku, kutatap layar ponsel tersebut, ternyata sudah pukul 7 pagi.
Aku bangun dari tidur dan menggeliat beberapa detik, langkah kakiku berjalan menuju lemari untuk mengambil baju dan celana, kemudian berjalan menuju kamar mandi.
Seperti biasa, saat mandi aku akan melakukan mini konser dengan menyanyikan lagu favoritku yaitu still with you yang dinyanyikan oleh Jeon Jeong-Guk.
"Hwangholhaetdeon gieok soge na hollo chumeul chwodo biga naerijana i angaega geotil ttaejjeum jeojeun ballo dallyeogal ge geuttae nal jabajwo," ujarku bersenandung, mengikuti lagu yang kuputar dari ponsel.
15 menit kemudian, aku keluar dari kamar mandi dan berjalan menuju meja rias, aku duduk dikursi menghadap cermin, tanganku meraih sisir yang berdiri kokoh di samping alat rias-ku dan mulai menyisir.
Hari ini akan menjadi hari yang sangat padat untukku, namun sebelum memulai aktivitas yang akan menguras banyak energi, aku akan pergi ke dapur untuk sarapan terlebih dahulu. Entah kenapa kepalaku rasanya ingin sekali menoleh ke arah rumah yang berada disebrang rumahku, perlahan leherku mulai bergerak ke arah kiri, namun beberapa detik kemudian aku kembali memalingkan wajahku ke arah cermin yang berada di depanku.
"Aaaiiissshh, bodoh!" makiku kepada diri sendiri.
Aku menaruh sisir itu dengan kasar, kemudian bangkit dari duduk dan berjalan menuju dapur dengan wajah yang mencibir. Tiba di dapur, aku mulai menyiapkan beberapa bahan untuk sarapanku.
Matahari mulai menembus tirai jendela dapur, memberikan suasana hangat yang menenangkan. Aku mulai memotong sayuran, menggoreng telur, dan menyiapkan secangkir teh hangat, aroma yang memberiku kenyamanan tersendiri.
Saat duduk di meja makan, aku menyantap sarapan secara perlahan sambil merenungkan novel yang sedang kutulis. Pikiran tentang deadline lomba menulis novel, yang diadakan oleh Kwikku dan Falcon Picture terus berputar di benakku. Lomba ini adalah kesempatan besar bagiku—sebuah peluang untuk mewujudkan impianku menjadi seorang penulis profesional yang karyanya dikenal banyak orang.
Setelah sarapan, aku kembali ke kamar, langkahku berjalan menuju meja belajar dan duduk, kemudian menghidupkan laptop, dan mulai menulis. Jari jemariku menari lincah di atas keyboard, mengalirkan setiap kata dan kalimat yang muncul di benakku. Aku tenggelam dalam duniaku sendiri, dunia yang aku ciptakan melalui kisah yang hendak kuselesaikan ini.
Setiap karakter, setiap konflik, dan setiap perasaan yang dituangkan ke dalam cerita membuatku semakin larut. Aku menulis dengan semangat yang membara, seolah-olah akusudah bisa merasakan betapa berartinya hasil kerja kerasku ini. Menulis memang obat tanpa dosis terbaikku, hanya dengan menulis aku bisa merasakan kebebasan dalam berekspresi tanpa harus merasa menyusahkan orang lain karena masalahku.
Waktu terus berlalu tanpa kusadari. Aku berhenti, kemudian meregangkan tubuhku dan menatap layar dengan rasa bangga. Meskipun jalan menuju impianku masih panjang, tetapi setiap kata yang aku tuliskan adalah satu langkah lebih dekat ke tujuan yang aku impikan.
Tidak lama alarm ponselku berdering, aku meraih ponsel yang tergeletak di samping kiriku, kutatap layar ponsel tersebut yang bertuliskan Short Course Screenwiting. Selain mengikuti kelas bahasa korea secara offline maupun online, aku juga mengikuti kelas screenwriting, alih-alih untuk portofolioku mendaftar beasiswa tahun 2024, serta mewujudkan mimpiku menjadi seorang penulis skenario profesional.
Masih ada waktu sekitar 15 menit sebelum kelas dimulai, aku pun menyimpan hasil tulisanku dan berjalan menuju kasur, kemudian berbaring sebentar di atas kasur, tulang pinggangku rasanya seperti kembali keposisi semula.
"Woooaaahhh betapa sulitnya mewujudkan satu mimpi," ujarku terpejam beberapa detik.
Saat aku sedang menatap langit-langit kamar, aku terkekeh dengan pikiranku sendiri.
"Sumpah ini hidup gue bener-bener plot twist banget sih. Pas SD ditanya cita-cita jawab mau jadi dokter, tapi dari kecil pas maen bukannya maen dokter-dokter an, tapi malah akting sama boneka, mana akting andalannya nangisin boneka, yang di mana tuh boneka perannya jadi kakak gue, terus meninggal," ujarku pada diri sendiri dan masih terkekeh.
"Eh pas SMP berubah lagi cita-citanya malah pen jadi dubes buat Korea Selatan, tapi kuliahnya malah ngambil jurusan broadcasting, udah gitu pas kuliah cita-citanya berubah lagi pen jadi penulis skenario film internasional. Astaga, ternyata tanpa gue sadar, akting nangisin tuh boneka Susan ternyata sinyal, kalau cita-cita gue yang sebenarnya itu terjun di industri hiburan," aku semakin terkekeh dengan pemikiranku sendiri.
Aku menghembuskan napas kencang dan melihat jam diponselku, ternyata sudah lewat dua belas menit, aku pun bangun dari tidurku dan berjalan menuju meja belajar, kemudian membuka aplikasi zoom meeting dan menunggu kelas dimulai. Tidak lama kemudian kelas screenwriting dimulai.
"Halo temen-temen, gimana kabarnya hari ini? Pada sehatkan ya?" tanya kak Angela mengawali kelas.
"Alhamdulillah sehat kak."
"Sehat kak."
"Puji Tuhan, sehat kak."
Jawab beragam para siswa.
"Syukurlah. Okeee, aku share screen dulu ya," ujar kak Angela tersenyum.
"Oke, udah kelihatan belum ya?"
"Udah kelihatan kak," jawab kompak para siswa.
"Oke jadi materi hari ini kita ngomongin storytelling ya temen-temen, karena sebenarnya film itu yang paling fundamental adalah kita tuh bercerita gitu ya, cuman bukan bercerita lewat verbal gitu ya kayak kita mau cerita ke orang, tapi juga soal bercerita dengan visual, makanya ini adalah hal yang mungkin penting ya teman-teman."