Palung Mariana

Nisya Nur Anisya
Chapter #15

BLACKOUT

Kini jam sudah menunjukkan pukul lima sore, hujan pun sudah reda, hari ini sengaja aku tidak ke kafe, karena aku ingin belajar bahasa korea di rumah, karena kelas offline bahasa korea ku di salah satu universitas di Jakarta hanya dilaksanakan seminggu sekali, jadi mau tidak mau aku harus berlatih lebih sering sendiri di rumah.

Aku bangkit dari dudukku dan berjalan menuju keluar mall, langkahku kini berjalan menuju halte transjakarta. Tiba di halte, aku menunggu transjakarta selama lima menit, aku mengeluarkan headphone dari dalam tas, dan memutar lagu, tidak lama kemudian trasjakarta pun tiba, aku naik dan melakukan tap in, kemudian duduk dibangku paling belakang.

Aku cukup terkejut karena tidak ada seorang penumpang pun yang naik transjakarta ini, padahal ini adalah jam pulang kerja dan biasanya transjakarta ke arah rumahku selalu penuh, namun yasudahlah, lagi pula momen seperti ini bisa membuatku duduk dan tidur nyenyak sampai tiba dihalte rumahku.

30 menit kemudian, aku terbangun dari tidurku, saat mataku mulai terbuka sepenuhnya, aku menatap jalanan dari balik kaca transjakarta, ternyata hujan kembali turun dan cukup deras, tidak hanya itu, penumpang yang tadinya hanya ada aku, kini lumayan penuh.

Sepanjang jalan aku terus menatap lekat hujan yang mengguyur kota Jakarta, aku menarik napas panjang kemudian menghembuskannya kencang, entah kenapa rasanya hari ini kepalaku terasa sangat berat, bahkan aku tidak tahu pemicunya apa, karena tidak ada hal buruk terjadi kepadaku hari ini, atau mungkin karena aku sudah tidak meminum obat antidepresan itu lagi.

Sungguh aku tidak suka dengan momen seperti ini, ini sangat membuatku frustasi, namun jika aku meminum obat itu kembali, perasaanku menjadi datar dan beberapa ingatan terhapus dari memoriku, aku tidak mau hal itu terjadi.

15 menit kemudian, transjakarta pun berhenti di halte rumahku, aku turun dari transjakarta dan membuka payung, kemudian berjalan menuju rumah. Tidak terasa kini langit telah berubah menjadi gelap, dan langkah kakiku sudah di depan gerbang rumah, aku membuka gerbang kemudian masuk dan menguncinya kembali.

Jalanan sekitar rumah kini sudah sepi, ditambah hujan masih juga belum reda, tiba di pekarangan, aku langsung melepas sandal dan menaruh payung, aku berjalan menuju pintu kemudian membukanya dan masuk, setelah itu menutupnya kembali.

Saat aku berjalan menuju kamar, tiba-tiba saja terdengar suara cacing diperutku sudah mulai berdemo, padahal baru dua jam yang lalu aku makan, namun kenapa sekarang perutku sudah terasa lapar lagi. Akhirnya aku memutuskan untuk mandi terlebih dahulu, baru setelah itu makan. Tiba di kamar, aku langsung menaruh tas dan juga airphone di atas meja belajar, langkahku kini berjalan menuju lemari untuk mengambil baju tidur, kemudian berjalan menuju kamar mandi.

17 menit kemudian aku selesai mandi, langkahku langsung menuju dapur, setibanya di dapur, aku langsung membuka kulkas dan mengambil nugget serta sambal kemasan, aku menggoreng nugget tersebut, sambil menunggu nugget ku matang, aku mengambil piring dan menuangkan sedikit nasi di atas piring, kemudian mengeluarkan sambal dari kemasan tersebut dan menaruhnya di atas nasi.

1 menit kemudian, nugget pun matang, aku langsung memindahkannya ke atas nasi yang sudah dipiring, langkahku kini jalan menuju meja makan dan mulai makan. Dipertengahan makan, tiba-tiba saja ponselku berbunyi, aku meraih ponsel yang tergeletak di samping kiriku dan membuka pesan tersebut.

Eira

Ri, besok sore ke softball stadium yuk

Riana

Gas

Eira

Ok, besok gue ke rumah lo

Riana

Okay

Aku menaruh kembali ponsel tersebut, dan kembali melanjutkan makan. Masih terdengar jelas, suara hujan di luar sana, aku menatap jam yang terpasang di dinding dapur, kini sudah menunjukkan pukul setengah sembilan. Selesai makan, aku mencuci piring, kemudian pergi menuju kamar.

Sudah hampir sebulan, kedua orang tuaku masih berada di Bandung, untuk mengurus kebun dan sawah, sekaligus mengecek keadaan rumah nenek dan kakek. Semenjak nenek dan kakekku meninggal, kini rumah dibiarkan kosong, namun 2 – 3 bulan sekali, kedua orang tuaku pergi ke Bandung untuk mengunjungi rumah tersebut.

Tiba di kamar aku langsung mengambil buku bahasa korea ku dari rak buku, kemudian duduk dan mulai belajar, meskipun hujan masih sangat deras, dan beberapa kali terdengar suara gemuruh petir yang keras, hal tersebut tidak membuyarkan fokusku.

Lee Kang In menatap kamarku dari balik jendela kamarnya dengan wajah datar, dan beberapa kali menarik napas kemudian mengeluarkannya pelan, memorinya menggiring kepada obrolannya bersama kak Andraste 2 hari yang lalu.

"Kang In-a."

"Ye?"

Lihat selengkapnya