Mentari kini mulai masuk melalui celah-celah tirai jendela kamarku, sinarnya membelai lembut wajahku, perlahan mataku mulai terbuka, aku menatap nanar tirai di samping kiriku, kemudian bangkit dari tidurku dan duduk.
Kini pandanganku beralih kepada jaket abu tua yang kukenakan saat ini, aku memegang jaket tersebut dengan raut wajah bingung. Aku berusaha untuk mengingat kejadian tadi malam.
"Oh iya gue inget," ujarku, yang langsung berjalan menuju jendela.
Perlahan aku membuka tirai jendela tersebut, aku melihat ke sekeliling rumah, untuk memastikan apakah orang berjubah hitam tadi malam ada disekitar rumahku atau tidak. Setelah beberapa menit aku melihat ke sekeliling rumah, tidak ada satu pun hal yang mencurigakan.
Aku berbalik badan, dan berpikir sejenak. Tiba-tiba saja pandanganku kini tertuju ke arah pintu kamar, aku berjalan perlahan menuju meja belajar, kemudian mengambil cutter yang berada dikotak pensil, dan berjalan menuju pintu kamar, aku membuka pintu tersebut perlahan, kemudian dengan cepat menodongkan cutter ke arah luar kamar, namun tidak ada siapapun di luar sana, aku melihat ke kanan dan kiri. Memang benar, tidak ada siapapun di rumah ini, selain diriku.
Aku menghembuskan napas lega dan bersandar beberapa detik di pintu, kemudian melangkah kembali menuju kasur dan duduk. Ponselku berdering, aku mengambil ponsel tersebut dari dalam tas, ternyata satu pesan dari Kevin.
Kevin
Kak tadi malem nyampe jam berapa?
Riana
Setengah sebelas
Setelah aku membalas pesan dari Kevin, aku melihat pesan dari kak Sanjani tadi malam, aku menghembuskan napas kencang dan meletakkan ponsel tersebut di atas kasur, kemudian menatap tembok di depanku beberapa detik.
"Enough," ujarku pelan dan menutup mata beberapa detik, kemudian membukanya kembali.
"Lo harus ingat ucapan bunda. Lo gak boleh larut dalam keterpurukan terlalu lama. Ingat Riana, Albert Einstein pernah bilang 'Tuhan tidak bermain dadu' berarti itu tandanya, Tuhan sudah mengatur sesuatu yang indah di depan sana untuk lo," ujarku meyakinkan diri sendiri.
Aku menarik napas panjang dan menghembuskannya kencang.
"Lo masih punya banyak kesempatan, ada volunteer Mondiblanc, lomba nulis novel yang diadain Kwikku dan Falcon Pictures, sama kelas screenwriting yang diadain sama IDS dan Paragon Pictures, kalau pitch deck lo lolos dan novel lo menang, itu bakal jadi peluang besar buat lo."
"Oke, sekarang tugas lo, cuma fokus sama hal yang ada di depan lo. Semangat Riana, mari mandi, sarapan, selesain novel lo dan perbaiki esai untuk beasiswa lo."
Aku beranjak dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi, dengan membawa kotak makan biru milik Lee Kang In untuk kucuci di dapur. Seperti biasa, akan ada ritual khusus setiap kali aku mandi, yaitu mini konser, namun kali ini lagu yang kuputar bukan Still With You milik Jeon Jeong-Guk, tetapi kumpulan lagu BTS.
*****
Aku masih fokus duduk di depan laptop. Jari jemariku terus menari di atas keyboard, menyusun kata demi kata untuk novelku. Namun, kali ini aku tidak hanya menulis novel; tetapi juga menulis esai beasiswa, karena esai ini adalah langkah penting agar mimpiku untuk kuliah di Korea Selatan dapat terwujud, dan untuk membuat esai itu tidak cukup menulis dalam waktu satu minggu.
Terlihat di layar laptopku, tampak dokumen novel dengan paragraf-paragraf yang penuh deskripsi mendalam. Setelah beberapa jam, aku beralih ke file esai beasiswa. Mimpiku adalah bisa menulis karya yang tidak hanya dikenal di negeri sendiri, tapi juga bisa menginspirasi dunia seperti BTS yang menginspirasi banyak orang di dunia melalui lagulagunya. Oleh karena itu, esai beasiswa ini adalah jalan untuk membuka pintu kesempatan itu.
Setelah seharian penuh tenggelam dalam kata-kata dan ide. Aku akhirnya menutup laptop dengan perasaan puas, kemudian merapikan tas dan berjalan menuju kantor pak Henry. pak Henry adalah orang kepercayaanku dalam menerjemahkan dokumen-dokumen penting seperti ijazah, Kartu Keluarga dan transkrip nilai. Dokumen-dokumen itu sangat diperlukan sebagai syarat pendaftaran beasiswa.
Membutuhkan waktu sekitar satu jam untuk sampai ke kantor pak Henry, kali ini aku pergi ke kantor pak Henry menggunakan KRL dan turun di stasiun Duren Kalibata. Kereta yang kutumpangi berhenti di stasiun Duren Kalibata, aku pun turun dari kereta dan berjalan keluar stasiun.
Tidak seperti biasanya, hari ini pakaianku lebih tertutup, lengkap dengan topi, kaca mata, masker dan hoodie serba berwarna hitam. Semenjak kejadian tadi malam, aku lebih berhati-hati lagi saat akan pergi keluar rumah.
Aku berjalan di bawah teriknya mentari siang ini dengan menggunakan hoodie hitam, entah berapa banyak keringat membanjiri punggungku, rasanya ingin aku melepaskan hoodie hitam ini, tapi aku takut bagaiaman jika penguntit itu berada di sekitarku saat ini.
"Aiiisshhh," umpatku mengeluh.
25 menit sudah aku berjalan, akhirnya aku tiba di depan gerbang kantor pak Henry, aku pun masuk ke dalam kantor tersebut.
"Permisi," sapaku di depan pintu.
Pak Henry yang sedang berada di depan komputernya, menoleh ke arahku.
"Silahkan masuk," ujarnya ramah.
Aku pun masuk dan berjalan mendekati pak Henry.
"Maaf pak sebelumnya, saya Mariana yang mengirimkan email kemarin siang kepada bapak, saya mau ambil ijazah, kk, dan transkrip nilai."