Kenapa lo lakuin itu ke gue Mil? Apa salah gue sama lo Mil? Dan kenapa gak ada sedikitpun rasa peduli lo sama gue? Kalau pun emang lo butuh uang, karena uang jajan lo kurang, lo bisa minta baik-baik sama gue, bukannya malah meres gue dan ngancam gue gak bakal ditemenin. Pertama gue masuk sekolah dan jadi seorang siswa baru, lo orang pertama yang nyapa gue dengan logat sunda lo dan ngajak gue jadi temen lo, selama dua minggu sikap lo bener-bener baik sama gue dan gue pikir lo bakal jadi temen baik gue, tapi dugaan gue ternyata salah, lo ternyata gak sebaik apa yang gue pikirin, lo selalu ngancem gue gak akan punya temen kalau gue gak ngasih uang jajan gue ke lo, belom lagi lo nyuruh gue untuk ngutang di warung. Gak cuma itu, sikap lo juga kasar ke sodara lo dan lo selalu maksa gue buat main sama lo, yang sebenernya gue tahu alasan lo mau main sama gue bukan karena emang lo beneran mau main sama gue, tapi karena lo mau gue jajanin lo. Asal lo tahu, selama setahun gue nyimpen ketakutan gue sendirian atas sikap lo ke gue, dan ternyata itu bikin gue trauma sampai depresi. Batinku.
Aku menghela napas panjang dan menghembuskannya kencang, tubuhku yang semula duduk tegak, kini bersandar lemas di kursi. Mata sipitku perlahan mulai tertutup dan pelupuk mata mulai terasa panas, butiran putih itu pun tidak bisa lagi kubendung dan akhirnya mengalir dari ekor mataku, kini aku tertidur pulas dikursi.
*****
Aku, Mila dan kak Aina sedang bermain bp, yaitu mainan kertas yang bergambar boneka barbie yang bisa dibongkar pasang. Kak Aina adalah tante Mila, karena umur mereka berdua yang hanya terpaut 2 tahun, banyak orang mengira bahwa kak Aina adalah sepupu Mila, aku dan Mila pada saat itu berusia 10 tahun, sedangkan kak Aina 12 tahun.
"Ri, beli cemilan gih," ujar Mila tanpa menatapku dan masih bermain bp.
"Tapi aku gak bawa uang Mil, uang jajan aku kan semuanya udah kamu minta tadi di sekolah," ujarku memelas menatap Mila.
"Ya kamu ngutang aja dulu. Udah sonoh beli apa kek, kalau kamu gak mau ngikutin perintah aku, siap-siap aja besok kamu gak punya temen."
"Kamu apa-apan sih Mil, kamu gak bisa maksa Riana kek gini, kalau kamu mau jajan, ya kamu pake uang kamu sendirilah jangan meres orang lain."
"Berisik! Diem lo ya."
Plak, satu tamparan mendarat di pipi kak Aina, terlihat jelas warna merah di pipi putih kak Aina, seketika aku terkejut melihat peristiwa mengerikan yang baru saja terjadi di depan mataku sendiri, badanku beberapa saat membeku dan napasku mulai memburu, perdebatan itu masih belum usai.
"Keponakan maneh teh urang lain si Riana," teriak Mila sambil menunjukku.
Kak Aina hanya diam dan menatap Mila penuh dengan amarah, tidak lama kemudian kak Aina meninggalkan rumah Mila dan pulang ke rumahnya sambil menarik tanganku, tanpa mengeluarkan sepatah katapun, Mila yang melihat kami meninggalkan rumahnya seketika langsung berteriak kencang.
Pulang sekolah aku langsung masuk ke dalam rumah, dan mengunci pagar serta semua pintu dan juga jendela, aku berganti pakaian kemudian pergi ke rumah Mira dari pintu ruang keluarga, karena rumah Mira berada di samping rumah nenekku, kami sering bermain bersama, walaupun usia kami terpaut 4 tahun, tapi aku merasa nyaman bermain dengannya.
Mira adalah cucu dari orang yang mengontrak di rumah nenekku, aku dan Mira bermain di ruang keluarga, kami memutar lagu dengan volume yang sangat kencang, dan mulai karokean.
Sepulang sekolah aku sering sendirian berada di rumah, karena nenek dan kakekku harus pergi ke sawah untuk bekerja, setelah kakekku pensiun sebagai seorang kepala sekolah, dia ingin fokus mengurus sawahnya dan nenekku sering membantunya, oleh karena itu aku sering sendirian di rumah.
"Teh Riana, kenapa gorden sama pintunya ditutup," tanya Mira menatap bingung keseluruh penjuru ruangan.
Aku hanya tersenyum menatap Mira, andai mulutku bisa mengatakan yang sejujurnya kepada Mira, bahwa sebenarnya aku takut jika Mila datang untuk mengajakku bermain. Namun sialnya mulutku selalu kaku setiap kali aku ingin menceritakan apa yang sebenarnya sudah terjadi kepadaku selama ini.
Aku, Mila, kak Henry, dan kak Deni sedang bermain di pantai, kebetulan jarak dari rumah nenekku ke pantai hanya 200 meter, jadi kami tidak perlu naik motor untuk pergi ke sana.
Kak Henry dan kak Deni adalah kakak kelasku, umur kami hanya terpaut 2 tahun, entah apa yang sudah direncanakan oleh Mila kepadaku, karena biasanya jika dia mengajakku bermain, tidak pernah mengajak kak Henry dan kak Deni.
Aku pun berjalan di belakang mengikuti mereka bertiga, firasatku mulai tidak enak saat kami jalan semakin jauh dari tempat biasanya orang-orang berenang dan bermain.
"Mil kita mau ke mana?" tanyaku menatap ke arah sekitar.
"Kita main di sana," ujar Mila tersenyum, sambil menunjuk ke arah depan.