Palung Mariana

Nisya Nur Anisya
Chapter #21

EMO

Kini badanku sudah terbaring di atas tempat tidur, perlahan mataku mulai terbuka, aku menatap nanar pria yang kini sedang duduk di sampingku dan menatapku.

"Ri," panggilnya pelan.

Pandanganku kini mulai jelas, pria itu ternyata adalah Lee Kang In, dia menggenggam tangan kananku erat, aku manatapnya lemas.

"Apa yang kamu rasakan?" tanyanya dengan wajah tenang.

"Aku kenapa?" tanyaku lemas.

"Kamu tadi pingsan."

Ya Tuhan, ternyata saat aku berada dipelukan Lee Kang In aku pingsan, aku menutup mataku beberapa detik kemudian membukanya kembali. Pandanganku beralih ke arah tangan Lee Kang In yang masih menggenggam erat tanganku, pria itu juga mengalihkan pandangannya ke arah tangan kami berdua, dan langsung melepaskan genggamannya.

"Maaf aku tidak bermaksud untuk memanfaatkan keadaan," ujarnya canggung.

Aku hanya diam dan menatap Lee Kang In, ini pertama kalinya aku melihat pria menyebalkan ini bersikap canggung padaku. Beberapa saat suasana menjadi hening, sebelum akhirnya Kang In menawarkanku minum, aku pun mengangguk, pria itu membantuku untuk duduk, kemudian memberikan gelas yang sudah berisikan air putih kepadaku.

"Obat kamu di mana?"

Satu pertanyaan yang benar-benar membuatku syok, sampai aku tersedak saat sedang minum.

"Minumnya pelan-pelan," ujarnya.

Aku memberikan gelas tersebut kepada Lee Kang In, pria itu mengambil gelas dari tanganku dan menyimpannya kembali di atas laci samping tempat tidurku.

"Aku udah lama gak minum obat," jawabku pelan tanpa melihat Kang In.

"Sejak kapan?" tanyanya kembali dan masih menatapku.

"Tiga bulan yang lalu."

Kang In menghembuskan napas lumayan kencang, sehingga membuatku kini menatapnya.

"Tolong jangan bilang siapapun terkait masalah ini," pintaku memelas.

"Jadi selama ini kamu menyimpan lukanya sendiri?" tanyanya terkejut.

"Aku hanya tidak ingin membuat orang-orang terdekatku khawatir," kini aku menunduk, untuk menyembunyikan air mataku yang sebentar lagi akan bergulir menuju pipiku.

Kang In kembali menghembuskan napasnya kencang, namun kali ini aku tidak menatapnya dan justru sibuk mengusap air mata yang terus bergulir menuju pipi. Kenapa dia harus melihatku dalam kondisi seperti ini, aku tidak suka orang lain melihatku saat sedang lemah, kenapa kamu tidak bisa menahannya Riana.

Isak tangis yang sudah kutahan ternyata gagal juga, Lee Kang In hanya menatapku cemas tanpa bertindak apapun, aku mencoba untuk mengendalikan emosiku, namun entah kenapa rasanya terasa sulit, semakin aku mencoba untuk berhenti menangis, semakin sesak dan sakit dadaku.

Hari ini aku belum makan sama sekali, rasanya perutku tidak lapar, entah bagaimana aku mendeskripsikan perasaanku saat ini, badanku terasa lemas, rasanya aku tidak ingin melakukan aktivitas apapun selain tidur.

Kini tangisku perlahan mulai reda, aku menghela napas berat dan menghembuskannya kencang, kemudian menegakkan kepalaku dan memejamkan mata beberapa detik. Saat mataku kembali terbuka, aku melihat sepasang mata sipit itu menatapku sedih, ingin rasanya mulutku mengatakan semua yang aku rasakan saat ini kepada pria itu, namun aku bingung, kalimat seperti apa yang harus aku ucapkan.

"Jeomsim meog-eoss-eoyo?" tanya Kang In, namun aku hanya menggelengkan kepalaku.

"Wae?" tanyanya kembali.

"Aku gak laper," kini pandanganku menatap clowee yang berada di dekat jendela kamarku.

"Aku capek. Kapan Tuhan akan menjemputku," air mataku kembali bergulir.

Aku dengan sigap langsung mengusap air mata yang bergulir menuju pipiku, pandanganku kosong, napasku kini terasa melambat, kepalaku benar-benar sakit. Sungguh aku tidak sanggup setiap kali harus menghadapi fase ini, rasanya aku ingin menyerah saja, aku sungguh ingin menyerah.

"Andai bunuh diri tidak dilarang di agamaku, pasti sudah kulakukan sejak dulu," lirihku masih menatap kosong.

Lihat selengkapnya