Aku dan Kang In berdiri di depan wahana halilintar, aku melihat halilintar yang masih melaju cepat meliuk-liuk di atas dengan jeritan para pengunjung yang terdengar sampai bawah. Terlihat jelas dari bawah, berbagai ekspresi menyatu di atas sana, ada yang terlihat sangat ketakutan, panik, bahagia, bahkan ada juga yang memasang wajah datar.
Berbeda dengan Kang In wajahnya terlihat bingung dan terus memperhatikan sekitarnya, aku menatap Kang In beberapa detik, sampai akhirnya dia juga menatapku dengan wajah bingungnya.
"Kita naik ini ya," ujarku tersenyum.
Beberapa detik Kang In mematung dengan mata sipitnya yang membesar dan mulutnya yang menganga, kini wajah bingungnya berubah menjadi panik, wajahnya terlihat pucat pasi.
Lo rasain pembalasan gue, siapa suruh pagi-pagi buta bikin kerusuhan di rumah orang dan maksa gue buat bangun dari tidur gue. Gumamku tersenyum sinis.
Aku melambai-lambaikan tanganku di depan wajahnya, Kang In kembali tersadar.
"Kamu mau kan?"
"Bagaimana jika kita bermain wahana yang lain saja dulu?"
"Tapi aku maunya yang ini," ujarku cemberut.
Kang In melihat halilintar yang masih melaju cepat dengan wajah paniknya dan terlihat jakunnya sempat naik turun, aku rasa dia menelan beberapa liter ludah yang sudah dia kumpulkan dimulutnya, tanpa menunggu jawaban Kang In, aku segera menarik tangan Kang In untuk masuk ke dalam antrian, saat aku menggenggam tangannya, aku merasa seperti sedang menggenggam es batu.
Kami berdua pun naik dan duduk, kemudian memasang pengaman, ada satu momen unik saat pengaman sudah terpasang, tangan kanan Kang In mencubit pengaman di samping kanan depan dadanya, wajahnya masih belum berubah, bahkan warna kulit pucat pasinya pun masih sama seperti tadi, aku tersenyum menatap Kang In, namun berbeda dengannya, dia menatap lurus kedepan dengan tatapan takut.
Halilintar mulai melaju perlahan, masih belum terdengar suara apapun keluar dari mulut Kang In, namun saat halilintar tersebut mulai meliuk-liuk dan turun naik, semua kalimat keluar dari mulutnya dengan beberapa kali teriakan yang sangat kencang, namun berbeda denganku, aku justru berteriak bahagia dengan kedua tangan yang kuangkat ke atas.
"Aaaa sirheo-jinjjaaaaaaa!" Kang In menutup matanya.
"Ya naeryeojwo!"
"Ya na-neun yong-giga eobseo!" matanya berkaca-kaca.
"Eomma jebal."
"Woaahhhh, nun mul nangbi haessneunde jinjja."
Aku tertawa puas melihat wajah Kang In yang sangat ketakutan, ekspresi datar yang selama ini kulihat dari wajahnya, kini berubah seratus delapan puluh derajat.
"Aaaaaaa," teriakku bahagia sambil tersenyum dan mengangkat kedua tangan ke atas.
Asal kalian tahu, dibalik sifat dingin dan wajah datarnya, terdapat ego yang tinggi di dalam dirinya dan aku yakin, sebenarnya Kang In tidak ingin menaiki halilintar ini, namun sekali lagi, karena ego nya yang terlalu tinggi dia tidak bisa menolak ajakkanku.
"Andwae! Ya naeryeojwo jeballllll."
"Aaaaaaaaa," teriak Kang In frustasi.
Lima menit sudah berlalu, akhirnya halilintar tersebut berhenti, namun apa kalian tahu, beberapa detik sebelum halilintar tersebut benar-benar berhenti.
"I can’t breathe."
Yap, Kang In jatuh pingsan, jujur aku sangat panik dan merasa bersalah saat itu, akhirnya aku meminta bantuan kepada satu pengunjung pria yang duduk dibelakangku, pria itu menggendong Kang In dipunggungnya untuk menuruni anak tangga.
Tiba di bawah, aku meminta kepada pengunjung pria tersebut untuk berhenti menggendong Kang In dan lebih baik memapahnya, aku dan pengunjung pria tersebut berniat untuk membaringkan Kang In dibangku yang tidak jauh dari tempat wahana halilintar, namun sebelum kami sampai kebangku panjang tersebut, Kang In tersadar dari pingsannya, dia menjauhkan badannya dariku dan juga pengunjung pria tersebut, Kang In berjalan gontai ke arah pohon dekat bangku panjang, dia jongkok kemudian muntah.
Beberapa detik aku terperangah melihat Kang In muntah, namun aku segera menyadarkan diriku.