Jam dinding di kamarku sudah menunjukkan pukul 07.00 pagi, mataku perlahan mulai terbuka, aku menyapukan pandanganku ke seluruh penjuru kamar, kini padanganku berhenti di meja belajar, pria bermata sipit itu tertidur pulas walaupun tubuhnya bersandar ke kursi.
Kepalaku masih terasa sedikit pusing, aku tidak tahu apa yang terjadi setelah aku berada di mobil Kang In, saat itu seketika pandanganku berubah menjadi gelap. Pria itu, dia benar-benar tulus menjagaku, bahkan dia rela tidur dikursi yang akan membuat tubuhnya terasa pegal-pegal ketika dia bangun.
Aku duduk di atas kasur dan menatap Kang In lekat, pria itu bangun dari tidurnya, dia menggeliatkan badannya, kemudian membenarkan posisi duduknya lalu menatapku. Dua pasang mata sipit kami saling bertatap satu sama lain dalam waktu yang cukup lama, Kang In menghela napas kemudian menghembuskannya dan berjalan menghampiriku, lalu duduk di sampingku.
"Bagaimana keadaanmu sekarang?" satu pertanyaan mengawali percakapan kami berdua.
"Better," jawabku singkat.
"Syukurlah. Ya Riana! Apa kau tahu jantungku semalam hampir copot?" tanya pria itu sedikit meninggikan suaranya.
Aku hanya menggelengkan kepala dengan tatapan bingung. Pria ini, bukankah tadi sikapnya ramah, kenapa sekarang berubah menjadi jutek, woaaahhh tidak bisa dipercaya, dia mampu melakukan ini hanya dalam beberapa detik, sungguh pria aneh.
"Jelas kau tidak tahu, semalam kau pingsan dan kau membuatku cemas. Berhenti membuatku cemas," dia menatapku lekat.
Rasanya saat pria ini mengatakan hal tersebut dengan nada suaranya yang meninggi, aku sama sekali tidak kesal atau pun marah, yang ada perasaanku merasa senang. Entah ini hanya perasaanku saja atau memang benar kenyataannya seperti ini, setiap kali pria ini meninggikan suaranya itu bukan karena dia membenciku atau marah, tapi itu adalah kasih sayang yang dia tunjukan kepadaku. Ya, walaupun caranya sedikit aneh, tapi sikapnya yang seperti ini menjadi ciri khas seorang Lee Kang In.
"Kenapa kau hanya menatapku seperti itu? Kau mendengarkan ucapanku kan?" dia mengernyitkan sebelah alisnya.
Aku hanya menganggukkan kepala dan menatap pria aneh ini, kemudian berseloroh.
"Aku lapar."
Tidak lama cacing di perutku berbunyi, aku melihat bibir merah muda itu terangkat sedikit dengan matanya yang ikut tersenyum, pria itu mengangguk tipis.
"Kau mau makan apa?"
"Nasi uduk."
"Oke, aku pesan."
"Makasih ya," ujarku pelan menatap Lee Kang In beberapa detik, sebelum akhirnya menundukan kepala.
"Untuk apa?" tanyanya bingung, memiringkan kepala sambil menatapku.
"Untuk semuanya," ujarku masih tertunduk.
"Sama-sama," ujarnya, masih dengan posisi semula.
Setelah beberapa detik menunduk, aku mengangkat kembali kepalaku, jantungku rasanya seketika berhenti, kini wajahku dengan Kang In hanya berjarak 20 centimeter, beberapa detik kami saling bertatap satu sama lain, wajah Kang In perlahan mulai mendekat ke arahku, jantungku yang semula seakan berhenti kini berdegup kencang, aku tidak tahu apakah pria ini mendengar detak jantungku atau tidak. Aku menutup mataku, namun tanpa diduga terasa dingin membelai lembut wajahku, dan ternyata itu ulah Kang In, dia meniup wajahku, kemudian berseloroh.
"Ada kotoran dimatamu."
Sontak aku langsung membuka mataku dan menguceknya, namun aku tidak menemukan sedikitpun kotoran dimataku, sungguh pria menyebalkan, kini wajahnya tersenyum puas menatapku.
"Ya! Aaaisshhh," bentakku, kemudian berdiri dan berjalan keluar kamar.
"Kau mau pergi ke mana?"
"Mandi, biar tidak ada kotoran dimataku," ujarku cemberut dan berjalan meninggalkan pria menyebalkan itu.
Rasanya malu sekali, kenapa aku bisa berpikiran bahwa Kang In akan menciumku, aaarrrggghhh, bodoh. Gumamku.
Pria itu pun keluar dari kamarku dan duduk di ruang tamu sambil menunggu pesanan kami datang, sedangkan aku pergi mandi. 25 menit kemudian aku selesai mandi dan berjalan menuju kamar, namun suara seseorang memanggil namaku dari arah ruang makan, aku menoleh ke arah tersebut, ternyata Kang In, dia tersenyum ke arahku sambil duduk, aku berjalan mendekatinya.
"Ayo makan, nasi uduknya udah aku siapin," ujarnya lembut dan masih tersenyum.
Aku duduk di depan Kang In dan hanya menatap nasi uduk tersebut dengan perasaan malu yang masih nyaman bersarang dihatiku.
"Kenapa tidak kau makan?" tanyanya mengejutkanku.
"Hah? I..i..iya ini mau aku makan," ujarku gugup, kemudian menyendok nasi uduk tersebut dan memakannya.
Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut kami berdua, kini hanya terdengar suara sendok dan garpu yang saling beradu satu sama lain, Kang In beberapa kali menatapku, namun berbeda halnya denganku yang sedari tadi tidak menatap wajah pria yang kini duduk di depanku.
Saat aku selesai sarapan dan akan bangkit dari bangku, Kang In menahan kananku menggunakan tangan kirinya, aku pun kembali duduk.
"Biar aku saja," ujarnya menatapaku, kemudian mengambil piring milikku.
Pria itu beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menuju westafel, kemudian mulai mencuci piring, garpu dan sendok, aku menoleh ke arah belakang dan menatap punggung lebar pria bermata sipit tersebut.
Saat pria itu selesai mencuci piring, garpu dan sendok, dia membalikan badannya, aku dengan sigap kembali ke posisi awal, pria itu berjalan kembali menuju tempat duduknya kemudian mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja makan.
Tidak lama kemudian, ponselnya berbunyi, ternyata satu panggilan dari karyawannya, pria itu mengangkatnya. Aku yang masih duduk di kursi dan menunduk, mencoba mencuri pandang ke arah pria yang kini sedang berdiri di depanku, namun sialnya pria itu ternyata sedang menatapku meskipun dia tengah melakukan panggilan telepon, dengan rasa malu aku menutup mataku beberapa detik kemudian menunduk kembali.
Pria itu selesai melakukan panggilan telephon, dia membungkuk dan mendekatkan wajahnya ke arahku.
"Apa kau baik-baik saja jika aku tinggal sebentar?" tanyanya lembut.
Aku mengangkat kepalaku dan menatapnya, kemudian mengangguk, dia tersenyum.
"Baiklah, aku pulang dulu ya," dia mengusap lembut puncak kepalaku sambil tersenyum, kemudian pergi.