PAMALI

Windyani Sudin
Chapter #2

#1. Pembawa Sial

Aku tidak pernah menduga, kita akan mengalami hari-hari menyedihkan seperti ini. Pertengkaran demi pertengkaran selalu terjadi setiap pagi buta, kau dengan amarahmu dan aku dengan kesabaranku. Toh, bukan kesalahan kita. Hanya saja ikrar cinta dahulu tidak sepenuhnya menjanjikan masa depan sesuai impian yang pernah kita bentuk bersama.

Aku berdiri dengan susah payah lalu perlahan memunguti dua buah sendok, pecahan piring dan nasi-nasi yang bertebaran di lantai. Air mata terus berurai basah di pipi, sembari memegangi perut yang terus membuncit dari hari ke hari.

Setelah memarahi Awi-- anak sulung kita, kau pergi tanpa mengeluarkan sepatah kata pun padaku. Anak itu duduk menepi di bawah meja makan, menelungkupkan kakinya. Matanya menatap liar, penuh ketakutan. Aku menarik napas panjang berulang-ulang, kelelahan menerpa tiada henti. Pikiran dan tenaga seakan terkuras habis oleh situasi. Aku tahu amarahmu padaku tidak pernah bertahan lama, namun kau terus membuat jarak dengan anak kita, membuatku harus memutuskan siapa yang akan kupilih. Sungguh, ini terasa begitu sulit. Aku adalah seorang istri dan juga seorang ibu. Aku menyayangi Awi, namun aku juga mencintaimu. Tak bisakah kau melihatnya sebentar saja di mataku?

Meski sedikit memakan waktu, sudah menjadi kewajibanku sebagai ibu rumah tangga merapikan setiap hal yang tidak pada tempatnya di rumah ini. Termasuk mengurusi perasaan anakku. Setelah mengedarkan pandangan ke sekeliling dan kurasa beres, perlahan tanganku bertumpu pada sebuah bangku, berusaha duduk di lantai. Sesekali aku meringis mencari posisi yang tepat karena usia kandungan delapan bulan sedikit sulit untuk bergerak bebas.

“Awi, ayo ke sini, Nak!” Aku melebarkan jarak pada kedua tangan.

Anak itu belum bergerak dari tempatnya. Dia terus memandangiku memastikan bahwa kecemasannya telah usai.

“Bapak sudah pergi, Nak. Ayo sini, ibu akan mengambilkan nasi yang baru.”

Aku memasang wajah lembut agar dia percaya aku baik-baik saja atas perbuatannya. Tidak ada lagi mata dan permukaan kulit wajah yang basah. Tadi sudah kubasuh dengan air, kelopak mata yang sebelumnya sembab sudah kupastikan tidak lagi menandakan tangisan. Aku menelah ludah, menenangkan diri sendiri, menyemangati jiwaku yang rapuh.

“Sini, Nak! Setelah makan, Awi mandi. Nenek dan Ika mau kesini,” kataku penuh kehangatan.

Mendengar nama Ika, mata anak itu berbinar cerlang. “Awi mandi, Awi mandi,” ujarnya semringah. Dia berdiri merunduk, buru-buru ke luar dari tempat persembunyiannya.

“Tapi makan dulu,” ucapku bernapas lega. Awi mengangguk cepat melebarkan senyum. Dalam sekejap dia sudah melupakan peristiwa pagi tadi.

Tidak mudah berada di dunia anak itu, meski usianya sembilan tahun, dia tak ubah seperti anak berumur lima tahun. Hidup di dunianya sendiri. Semalam dia melakukan sesuatu yang menurutnya menyenangkan. Dia tak pernah tahu bahwa perbuatannya melahirkan amarah bagi oang dewasa terutama ayahnya.

Pukul dua belas malam, anak itu mengendap-ngendap keluar dari kamar. Aku sempat mendengar langkah kaki yang pelan karena lantai rumah kami beralas papan. Saat itu, aku lelah sekali sehingga tidak berpikir tentang kemungkinan yang akan terjadi. Entah berapa lama, aku juga mendengar suara berisik semacam sesuatu yang berdenting jatuh ke lantai. Kupikir anak itu mungkin mengambil air minum. Hal tersebut sudah biasa terjadi, dia selalu menjatuhkan benda apapun ketika menyentuh sesuatu yang berada pada wadah berjumlah banyak.

Aku juga tidak tega jika harus membangunkan Arwan-suamiku yang sudah lelap sejak sejam yang lalu. Seharian dia lelah bekerja sebagai buruh bangunan.

Kutepis seluruh kekhawatiran yang merasuk di kepala. Awi bukan anak yang nakal, dia hanya belum mampu memahami setiap hal.

“Makan nasinya sampai habis!” suara menggelegar pagi tadi lalu mengejutkanku. Aku buru-buru bangun mengikat rambut. Beranjak dari ranjang, mengucek mata yang masih terasa lembab.

Ketika memasuki dapur, Aku terkesiap melihat Arwan memasukkan setumpuk nasi ke mulut Awi dengan paksa. Aku menjerit mendekati Arwan untuk menghentikannya.

Aku menyampuk tangan kanan Arwan. “Apa yang kau lakukan?”

Kutarik Awi dalam dekapan. Buliran bening seketika luruh dari mataku.

“Urusi anakmu ini! Aku hampir tidak tahan lagi.” Arwan melepaskan pegangan tangan kirinya di bahu Awi dengan kasar. Sebelum sempat memeluknya, anak itu secepat mungkin masuk ke kolong meja.

Aku tahu dia hanya merasa takut. Kulihat di atas meja ada dua piring nasi dihiasi dadar gulung yang berantakan, di sebelahnya ada sebuah kotak makan berisi tiga ekor cicak yang mati mengenaskan. Kepala dan ekornya telah dipotong menjadi dua. Kini aku mengerti mengapa Arwan begitu marah.

Lihat selengkapnya