Januari 1998 – Batang, Jawa Tengah
"Mas, usia kandunganku udah masuk lima bulan. Kinasih juga sebentar lagi masuk sekolah. Kita udah ndak punya uang sama sekali." Prapti, wanita dengan daster lusuh tampak duduk di samping Utomo, suaminya yang sedari tadi duduk diam tanpa membuka mulutnya. Kopi hitam yang tersaji di meja, sama sekali tak membuatnya tertarik mengakhiri lamunannya. Surat pemecatan yang diberikan bosnya sebulan yang lalu sungguh membuat hidupnya hancur berantakan. Uang tabungan yang tak seberapa, tentu sudah habis untuk membiayai kebutuhan rumah sehari-hari.
"Besok Mas coba lamar pekerjaan di tempat lain, Dek. Semoga ada yang mau terima."
Prapti menggigit bibir bawahnya, takut-takut memberikan saran. Utomo melihatnya dan meraih tangan wanita yang tujuh tahun lalu dinikahi olehnya.
"Ada apa? Kamu mau ngomong sesuatu?"
Prapti meraih lipatan kertas dari sakunya, diberikan kepada sang suami dengan wajah tidak rela. Sebuah konveksi di Jakarta sedang membutuhkan karyawan. Dia mendapatkan informasi itu dari tetangga yang juga bekerja di sana.
"Mas kan bisa jahit. Kalau pabrik-pabrik sarung di sini ndak ada yang mau mempekerjakan Mas, mungkin Mas tertarik merantau ke Jakarta. Setidaknya, kemampuan Mas ada gunanya. Kalau cuma nunggu tetangga yang jahitkan baju, paling satu dua. Itu pun ndak seberapa ongkosnya."
Utomo tak lantas menjawab, menatap wajah sayu istrinya dan melihat jabang bayi yang beberapa bulan ke depan akan dilahirkan. Rasanya tidak mungkin meninggalkan wanita itu seorang diri, tapi bertahan di kota kecil ini juga tak menjamin ekonomi keluarganya akan tercukupi.
"Kamu yakin, Dek? Kinasih masih kecil. Gimana mungkin kamu bisa urus dua anak sekaligus?"
Prapti tersenyum, menggenggam tangan Utomo dengan tekad memberikan kekuatan.