Waktu cepat sekali berlalu. Padahal baru tadi rasanya Chandra melesatkan anak panah pertamanya tapi beberapa waktu kemudian pelatih sudah memintanya menepi. Waktu latihan Chandra telah selesai. Beberapa bidikannya meleset dari poin sempurna. Lebih sering ia melakukan aiming di poin tujuh dan delapan. Bukan poin rendah sih tapi juga bukan poin yang cukup baik untuk bisa menargetkan satu podium juara di turnamen minggu depan. Sudah dipastikan performanya yang sedikit menurun akan menjadi cacatan khusus bagi pelatih. Chandra menghela napas guna menghilangkan perasaan yang mengganjal di hati. Perasaan yang selalu datang ketika hasil kerja kerasnya jauh dari ekspektasi yang telah ia rancang jauh-jauh hari. Perasaan kecewa yang selalu hadir setiap kali selesai latihan. Membidik target seperti sedang membidik mangsa. Chandra sudah seperti hewan pemburu yang mati-matian mengejar mangsa buruannya. Tapi ada perasaan lain yang susah ia jelaskan datang menyelinap. Perasaan itu muncul akhir-akhir ini. Mungkin itu juga yang menyebabkan performanya menurun. Ia tak tahu pasti apa perasaan yang mengganjal itu yang jelas hal itu selalu berhasil mengacaukan latihannya padahal turnamen sudah sangat dekat.
Setelah menanggalkan semua peralatan pengamanan seperti Arm guard, finger tab dan Chest guardnya. Chandra menyimpan quiver panahan dan busurnya di tas yang cukup besar untuk ia bawa pulang. Walau di tempat latihan disediakan busur dan arrow tapi Chandra lebih senang memakai miliknya sendiri.
"Kemana perginya semangat berburumu hm? Jiwa serigala pemburumu sepertinya lagi tertidur." Pelatih datang sambil menepuk bahu Chandra.
"Maaf, Pak."
"Latihanlah yang lebih serius lagi serigala pemburu. Kamu nggak mau 'kan melewati kesempatan kayak tahun lalu lagi?"
Di tempat latihan, Chandra memiliki julukan berbeda. Ia dijuluki serigala pemburu walau dibeberapa kesempatan ia diberi nama Robin Hood. Omong-omong Robin Hood padahal terdengar lebih keren daripada serigala pemburu.
***
Chandra tak mengingat dengan jelas kenapa bisa ia terjatuh dan berakhir dengan kaki dibebat perban karena terkilir. Terkilir ringan sih. Beberapa hari pun sudah sembuh tapi tetap saja minggu depan ia ada turnamen. Ia bisa terancam gagal mengikuti turnamen jika kaki terkilirnya belum kunjung sembuh hingga hari turnamen tiba. Ia tak ingat banyak. Kejadiaannya cepat sekali. Yang jelas ia cuma samar-samar melihat sebuah sepeda melaju dengan cepat ke arah tubuh malang Chandra. Dan setelah itu ingatannya justru berakhir di ruang gawat darurat sebuah klinik. Duduk diam bersama seorang gadis aneh yang bukannya meminta maaf justru ikut membisu bersamanya. Ia tak habis pikir. Bukannya merasa bersalah atau panik. Gadis itu tetap setia dengan wajah kakunya. Diam membisu dan sama sekali tak mengajaknya berbicara.
"Boleh tahu siapa nama kamu?"
Chandra melongo. Terkejut lebih tepatnya.
"Wow. Gue pikir lo bisu." Adalah kalimat pertama yang Chandra lontarkan alih-alih memberitahu namanya. Syukurlah jika gadis itu tidak bisu. Chandra jadi tidak harus berkecamuk dengan pikirannya sendiri hanya karena belum mendapat permintaan maaf.
"Tolong kasih tahu nama kamu, buat urusan administrasi soalnya."
"Chandra Bagus," jawab Chandra setengah kesal. Masalahnya bukan meminta maaf atau apalah gadis itu justru menanyakan hal lain.