Sudah lebih dari lima menit Ucup menatap bayangannya di depan cermin. Ia tampak murung dan gelisah. Hingga akhirnya Hernita memecahkan lamunannya.
“Eh anak ganteng kok ngelamun aja sih?”
“Oh halo bi. Udah siap berangkat?” Ucup mengalihkan pembicaraan.
“Iya, semuanya udah di packing. Tapi sebelum berangkat, bibi mau ngobrol sebentar sama kamu. Boleh nak?” pinta Hernita.
“Ya boleh dong bi.” Jawab Ucup lembut.
Hernita menarik tangan Ucup dan mengajaknya duduk di sampingnya. Kamar kost yang sempit itu tidak memiliki cukup ruang untuk menempatkan sofa. Terpaksa mereka berdua hanya bisa duduk bersila di lantai, tempat dimana Ucup biasa menggelar tikar setiap malam agar Bibinya bisa tidur dengan nyenyak di kasur mungil miliknya.
“Sejak pulang sekolah tadi, Ucup kok kelihatannya murung nak? Gimana hari pertama kamu disana? Temen-temen sekolah kamu pasti nakal ya? Mereka ganggu kamu?”
“Ucup baik-baik aja kok bi. Ya biasalah pasti ada aja yang bikin ulah. Tapi Ucup juga kenalan sama beberapa temen baru yang baik kok bi. Mereka malah ajak Ucup ngumpul sama mereka nanti malam.” Jelas Ucup agar bibinya berhenti khawatir.
“Wah bagus dong itu? Hari pertama di SMA Nusantara kamu udah dapat temen baru pula. Siapa mereka nak?” Hernita langsung tampak sangat bersemangat.
“Yang aku inget ada Kezia, Kevin, sama Renata.” Ucup berhenti sejenak sambil tersenyum begitu Ia menyebut nama Renata. “Renata cantik banget bi. Orangnya baik lagi. Tapi ternyata dia anak yang punya Sekolah Nusantara bi. Ucup jadi ngerasa minder.” lanjut Ucup dengan lemas.
“Astaga kamu gak bercanda kan cup?” Hernita spontan memukul pundak Ucup saking bersemangatnya. ”Cup, itu artinya kamu berteman sama anaknya Pak Hendrawijaya yang udah kasih kamu beasiswa disana! Pak Hendrawijaya itu kan juga salah satu calon presiden kita. Waduh mimpi apa bibi semalam. Baru hari pertama sekolah di SMA Nusantara, keponakan bibi sekarang berteman sama anaknya calon presiden!” Hernita berteriak kegirangan.
“Bi, justru karena itu Ucup jadi ngerasa sungkan. Mereka itu levelnya beda sama Ucup. Kantin mereka aja beda sendiri. Ucup mah cuman remah-remah kalo dibandingin sama mereka.” Ujar Ucup dengan sedikit tertawa.
Tiba-tiba Hernita memegang kedua pundak Ucup dengan erat. Tatapan matanya berubah tajam. Ucup mulai kebingungan melihat tingkah bibinya.
“Yusuf Masadi, kamu mau selamanya hidup jadi orang susah?” tanya Hernita dengan nyaring disertai ekspresi wajahnya yang mengundang tawa.
“Ya engga dong bi..” jawab Ucup sambil menahan tawa melihat tingkah bibinya yang konyol.
"Kalo gak mau selamanya hidup susah, jangan jadi anak yang cepat menyerah dong ah! Asal kamu tau ya cup. Banyak orang-orang kaya di luar sana yang awalnya juga terlahir dari keluarga gak berada! Kamu ini sekarang dikelilingi anak-anak dari keluarga yang hebat nak. Ini rejeki kamu! Jangan pernah sia-siakan kesempatan itu. “
Setelah terdiam beberapa detik, Ucup tersenyum dan mengangguk mantap.
“Iya bi. Ucup akan usahakan. Makasih ya bi.”
“Kamu itu jenius nak. Gak semua orang pinter di negeri ini bisa dapat beasiswa di SMA Nusantara. Itu harusnya bikin kamu bangga. Kalo kamu sendiri gak yakin sama apa yang kamu punya, gimana orang lain bisa percaya sama kamu?”
“Iya bibiku sayang." Ujar Ucup sambil memeluk Hernita erat. "Makasih banyak ya bi. Ucup bakal kangen banget sama semua ceramah bibi.”
“Maaf ya bibi gak bisa temenin kamu disini. Banyak yang harus bibi urus di kampung. Tapi bibi percaya, Ucup pasti bisa jadi orang yang sukses di Batavia. Yang semangat ya nak!” Tak terasa air mata Hernita mengaliri pipinya. Ini akan menjadi kali pertama Ia dan keponakannya berpisah setelah hidup bersama sejak Ucup masih balita.
---
Ucup mengantar bibinya menuju terminal bus dimana bibinya akan meninggalkan kota. Sesampainya di terminal, mata Hernita kembali berkaca-kaca.
“Rasanya seperti mimpi. Sekitar lima belas tahun yang lalu, bibi sama almarhum ibu kamu menginjakkan kaki di Batavia untuk pertama kalinya di terminal ini. Waktu itu kamu masih umur dua tahun kalo gak salah. Kalo aja waktu itu bibi paksa Ibu kamu supaya segera pulang ke kampung sama bibi, mungkin dia masih ada disini.” Tangisan Hernita pun tumpah. Ucup langsung memeluk bibinya.
“Kalo Ibu kamu ada disini, dia pasti akan bangga sama kamu nak. Ucup sekarang udah tumbuh besar dan jadi anak yang bibi banggakan. Ucup baik-baik ya disini. Jaga diri kamu dan ingat pesan bibi tadi ya nak.” Lanjut Hernita sambil memegang wajah Ucup yang sudah dibanjiri dengan air mata.
“Iya bi. Makasih ya untuk semuanya.” Ucup kembali memeluk bibinya.